Rabu, 27 Juli 2016

GURATAN CERITA INDAH

Hari ini Kamis, 28 Juli 2016.
SELINTAS KISAH


Sungguh sangat beruntung bagi saya, Jusup Adji  Nugroho,
lahir pada hari Rabo Pahing, 3 Januari 1973, anak sulung dari pasangan Emanuel Wilarso dan Hartini. kelahiran saya sangat dinantikan banyak kerabatku. Aku lahir di tengah timangan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat. Kauman Salaman Magelang adalah kampung halamanku, Kauman Lor Dalan, Kauman untuk menyebut daerah tempat tinggalku. Sederet rumah itu memang pada awalnya dimiliki dan tempat tinggal keluarga besar bapakku, dimana Simbah, dan adik adiknya dengan sepupu sepupu, kerabatnya tinggal. masuk dalam lingkaran keluarga Kotagede di Salaman.
Bapakku bukan asli orang Salaman, katagori pendatang, Beliau sampai di Salaman ,karena dampak perang kemerdekaan tahun 1947. Bermula dari serangan Belanda di Sukorejo Kendal, tempat kelahiran bapakku, dan di sana leluhurku tinggal . Suatu kawasan keluarga Kotagede di Saudagaran Sukorejo Kendal,. Pendopo dan rumah Simbah Buyut diserang dan kemudian diduduki Belanda. seluruh keluarga ikut mengungsi dengan tujuan Joyoprana Kotagede Jogjakarta. Sebagai tempat dimana Mbah Buyut puteri berasal dan masih memiliki rumah disana. Kedatangan di Salaman Bulan Desember 1949. untuk menghindari sergapan bulan yang telah menyerang Jogjakarta. Sesampai di Salaman tempat yang dituju adalah rumah Mbah Roestiardjo, tempatnya rumah Mbah Mangeondarso, keponakan Mbah Buyut Puteri yang juga besannya. Niatannya menghindari Belanda, tetapi malah ketemu Belanda juga di Salaman. Akhirnya itulah pelabuhan terakhir dari rangkaian pelarian akibat perang,. Kemudian sampai menetap karena usaha dagang yang ditekuni justru memperlihatkan hasil yang menjanjikan.
Sebagai cucu aku sangat merasakan kasih sayang dari Simbahku ....Mbah Puteri Hardjodirjo, yang walau sebenarnya adalah beliau adik kandung dari Mbah Kakung Supadi Pawirowikarto,ayah dari bapakku. namun karena kondisi ekonomi Mbah Wikarto begitu aku menyebut tidak cerah. Maka anak anak Mbah Wikarto mencar kemana mana. Bapakku sejak awal memang telah dilirik oleh Mbah Hardjodirjo untuk dirawat, walau sudah memiliki anak sendiri yaitu  Budhe Moenari Hardjomartono, dan tinggal di Kotagede setelah menikah dengan Pak Slamet Hardjomartono dengan usaha dagang penyamakan kulit.




Prajurit Perang Jawa
Perang Diponegoro  di Jawa pada  tahun 1825-1830 berakhir dengan siasat licik yang diterapkan Residen Kedu di Magelang, Setelah perang reda dan pemimpin pertempuran itu ditangkap, para pengikut dan prajurit Diponegoro berhamburan ke segala arah. Mereka kembali beraktivitas seperti ketika perang belum berkobar. Tidak sedikit dari mereka yang bersembunyi karena kejaran tentara Belanda. Salah satu dari mereka, melarikan diri dan diam dalam keheningan kaki pegunungan Perahu sebelah utara. Aktifitas dagang yang digeluti, seperti para perantau perantau Kotagede lainnya.

            Sukorejo, Kab Kendal…. adalah tempat yang aman untuk bersembunyi bagi Mbah Soelaiman Sentono, konon nama yang dipakai setelah pergi haji pada tahun 1870 an. Jauh setelah perang Diponegoro itu selesai. Sepulang dari ibadah haji, imperium dagang itu tetap dibangun. Menetapkan di kampung yang dikenal dengan nama Saudagaran Sukorejo. .Besar kemungkinan, karena ditempat ia tinggal, banyak perantau Kotagede yang sukses menjadi saudagar maka dikenalah Saudagaran…tempat tinggal para saudagar. Entah mungkin karena kuatnya persaingan dagang di Kotagede sedemikian kuat, kemudian orang-orang yang “ kalah “ berekpansi ke daerah baru untuk mencari peruntungan yang lebih baik. Bagaimanapun akhirnya terbentuk diaspora keluarga asli kotagede di perantauan. Dengan karakter ,adat ,budaya dan tradisi yang masih sama dengan daerah asal. Kemudian bersinergi dengan kebudayaan setempat memberi warna baru bagi kebudayaan jawa setempat.
Kelak pada masa akhir  abad ke 19 Sukorejo, sebagai ibukota Kawedanan Selokaton Kabupaten Kendal. Keberhasilan dan kesuksesan Mbah Sulaiman Sentono di Sukorejo, menarik minat para kerabat dan saudara saudara dari Kotagede lainnya. Mereka akhirnya menetap sampai akhirnya muncul kelompok keluarga Sargede ( nama lain Kotagede ) Yogyakarta. Walaupun jauh berada di perantauan ,namun ikatan emosional dengan leluhur tidak terlepaskan. Budaya, tradisi dan kebiasaan di tempat asal di bawa dan dikembangkan di Sukorejo. Jadilah kampung Saudagaran sebagai diaspora masyarakat Kotagede..di Sukorejo.
            Keuletan dan ketrampilan dalam berdagang layaknya orang-orang Kotagede menjadikan mereka cepat mapan dalam bidang ekonomi. Hidup sejahtera dan berkecukupan. Untuk membentuk solidaritas dan ikatan dengan budaya asal di Kotagedhe, anak-anak merek dijodohkan dengan keluarga dari Kotagede juga,atau anak sesama perantau dari Kotagede. Sehingga jalinan emosional itu tidak luntur          Mbah Soelaiman Sentono, melahirkan Mbah Wirosentono ( nama kecil diketahui…) Tidak banyak diketahui tentang cerita Mbah Wirosentono. Hanya pada masa tuanya sepeninggal Mbah Wirosentono puteri tidak menikah lagi menduda sampai meninggal dunia. Menurut cerita badannya sedikit gemuk dan kepalanya botak, mencintai anak cucunya dengan sepenuh hati. Mbah Wirosentono menurunkan beberapa anak yaitu Mbah Kasno Kartosentono, Mbah Moertosentono, Mbah Hardjosentono, Mbah Sastrosentono. Dari Keempat anaknya rata relatif sukses dalam bidang perdagangan, bahkan pada awal abad ke 20 Mbah Moertosentono sudah memiliki mobil suatu hal yang prestise karena di Kabupaten Kendal  waktu itu yang memiliki mobil bisa dihitung dengan jari.
            Mbah Kartosentono tumbuh menjadi saudagar kaya yang cukup dikenal di Sukorejo pada awal abad ke 20. Memiliki armada dagang yang banyak sekali berkeliling ke pasar-pasar di kawasan Kendal dan Batang. Mbah Kartosentono menikah dengan Mbah Dasinah anak Mbah Kartowiryo dari Joyopranan Kotagede. Nama tua Kartosentono adalah nama yang diadopsi dari 2 keluarga yaitu Kartowiryo dan Wirosentono. Perkawinan itu lahir ke 13 anak anak mereka yaitu  Djoedi Hardjosoekarto, Kamidi Pawirosoehardjo, Soepadi Pawirowikarto, Mahsoemi Hardjodirjo, Toeparmo ( wafat waktu kecil ), Moersidah Djojohartono, Restiyo Resotijardjo,Ikhas ( wafat kecil ), wafat bayi, Soekarno Karnowijoto, wafat kecil, wafat kecil dan Arie Sugito.
Armada dagang bah Kartosentono meluas ke daerah Batang dan Kendal. Kejayaan dan kesuksesan Mbah Buyut Kartosentono berakhir setelah Indonesia Merdeka. Hari Jumat Kliwon , 5 Setember  1947, Belanda menyerang Sukorejo dari udara. Menurut cerita  orang tua -orang tua yang mengalaminya. Serangan itu, memborbardir Kawedanan, gereja, rumah di Kebumen , sekolahan dan termasuk rumah Mbah Buyut Kartosentono di Saudagaran,. Joglo ditembaki dari atas, membuat semua kaget, Kacau balau, lebih lebih karena Belanda mengetahui kalau salah satu dari anak Mbah Buyut Kartosentono menjadi tentara TNI...yaitu Arie Soegito (alm ) yang kelak tinggal juga di Saudagaran Sukorejo.
Mengungsi ke Genting Gunung bersama sama seluruh rakyat Sukorejo, keluarga besar membuat rencana kembali ke Joyoranan Jogjakarta, karena disana ada rumah yang bisa di tinggali untuk mengindari musuh.

Poros Sukorejo Joyopranan Kotagede      
            Joyopranan terletak di sebelah selatan Pasar Kotagede , jaraknya kurang lebih 500 Meter.. Dahulu merupakan daerah kantong milik Kasunanan Surakarta, namun kemudian dimasukan ke dalam wilayah Yogayakarta. Sekarang secara administrasi masuk Kelurahan Singosaren Kec Banguntapan Bantul Yogyakarta. Berada disebelah selatan Kampung Selokraman, tempat lahir orang-orang hebat masa lalu.
Secara genealogi penduduk asli kampung tersebut masih memiliki ikatan darah satu dengan yang lainnya dengan satu leluhur yang sama. Penduduknya beragam profesi seperti layaknya masyarakat Kotagede pada umumnyakaum wiraswasta. Namun tidak demikian dengan R. Kamdi Pawirosoedarmo, seorang guru sekolah Kasultanan, sekaligus sebagai seorang intelektual pada waktu itu. Walaupun seorang  guru yang kemudian diangkat menjadi seorang mantri guru untuk sekolah Kasultanan, tetapi sang isteri R.Ngt Tohirah adalah asli Joyopranan seorang pedagang batik.
R Ngt Tohirah adalah anak dari Mbah Djamradji, dan merupakan anak Mbah Duryaden yang pernah menuaikan ibadah haji. Mbah Duryaden anak dari Mbah Danom dan kalau di runut genealogi ke atas akan sampai ke Panembahan Senopati. Pendiri kerajaan Mataram Islam di Kotagede.
Ketika Muhammdiyah tumbuh dan berkembang di Yogyakarta dan meluas sampai Kotagede, peran R. Kamdi Pawirosudarmo tidak kecil. Lewat langgar Joyopranan ajaran Muhammdiyah dikembangkan untuk meluruskan praktek ibadah yang dinilai salah pada waktu itu.
Joyopranan menempati posisi penting dalam keluarga  Kartosentono, karena  Mbah Kartosentono puteri berasal , yang merupakan anak dari Mbah Kartowiryo, dari Joyopranan. Salah satu anak Mbah Kartowiryo  yaitu Nyai Mangoendrono telah menetap di Kauman Salaman Magelang. Salaman Magelang pun telah menetap keluarga-keluarga Kotagede yang telah sukses merantau dan menetap disana. Mbah Mangoendrono telah memiliki anak Mangoendarso yang bersiterikan orang Kotagede juga yang nanti melahirkan  ( Parsinah bersuamikan Atmosoewarso dari Citran Kotagede , Djakinah yang bersuamikan Roestiyo anak Mbah Kartosentono dari Sukorejo, Basoeki yang juga berisiterikan anak Mangoensoekromo dari Dolahan Kotagede, dan Soewignya yang juga menikah dengan orang Kotagede )  Nyai Soedilah yang bersuamikan Mangoendihardjo dari Kampung Jagalan Kotagede, melahirkan 13 orang anak ( Soelinah Moechdiyati Hardjo.., Radjiman Partodiwarno, Nyai Hardjowidarso, Nyai Dasinah Soehodo Mulyodihardjo,)Nyai Atmowidarso yang bersuamikan juga orang Kotagede dan Atmohardjono .