KISAH TRAGIS SANG PANGERAN
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh6g6A2-K0zVjGKQmLKHV4_v_19oWapsv0DxvzNleNeqqIEpT3CLSQW3SAuaUlywcRdSda5xNyjjcLac2Q2PERiUp8yH9xxuJKmN1G478gzVpo16_NKfSFh3MCml799EFkWNOfwiLhiN2Xe/s640/Makam+P.Hadiwijoyo+Kaliabu.jpg)
GPH Hadiwijoyo adalah putera
ke 12 dari Sinuhun
Amangkurat IV ( Jawi ) ing Kartosura
dengan Mas Ayu Karoh .Lahir dengan nama RM Subekti Setelah dewasa menikah
dengan R Ay Sentul melahirkan RMT Kusumadiningrat/
KPH Kusumadiningrat. GPH Hadiwijoyo ini meruakan kakak dari BPH Mangkubumi Sultan Hamengkubuwono ke I yang merupakan putera ke 15. Beliau
bertempat tinggal di Kampung Gajahan
sebelah barat karaton. Dalem Hadiwijayan adalah sebuah rumah yang
ditempati oleh GPH Hadiwijaya, adik Sunan Paku Buwono II yang kemudian juga
dikenal dengan sebutan BPH Hadiwijaya Seda Kaliabu, sebab beliau tewas dalam
pertempuran di Desa Kaliabu Kec Salaman Magelang. Salah satu cicit Pangeran Hadiwijaya
adalah KGPAA Mangkunegara IV yang
bernama kecil RM Sudira. Latar belakang perlawanan P.Hadiwijaya terhadap VOC sangat berkaitan erat dengan ketidakpuasan kalangan karaton . Akibat dari kedekatan Paku Buwono II ( saudaranya) dengan VOC yang akhirnya ikut campur tangan didalamnya. Puncak dari ketidakpuasan keluarga keraton dengan PB II dan VOC akhirnya memunculkan adanya konflik "perang
Mangkubumen" antara tahun 1746 - 1755 M . Perang yang dimulai 19 Mei 1746 dan berakhir dengan adanya
Perjanjian Giyanti (palihan nagari). Lewat Perjanjian Giyanti antara Sri Sunan
Paku Buwana III dengan Pangeran Mangkubumi (putra Amangkurat IV) pada 13
Pebruari 1755 M (29 Rabiulakir 1680 J), Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua
bagian, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Konsekuensi
logis adanya Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi kemudian bergelar Ngarsa
Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengkubuwana Senopati
Ingalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah ingkang Jumeneng Kaping
I ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Dalam perspektif sejarah keberhasilan
perjuangan Hamengku Buwono I tersebut tidak terlepas dari dukungan aliansi para
pejuang, kerabat (sedherek dan sentana dalem), kelompok-kelompok prajurit di
bawah pimpinan Rangga Prawirasentika, dilengkapi dengan penerapan strategi
perang gerilya yang jitu. Beberapa kerabat atau sedherek dalem yang dapat
disebut telah memberikan dukungan dalam perjuangan itu adalah, Pangeran
Hadiwijaya (RM. Subekti). Kedua, adik Pangeran Mangkubumi yaitu Pangeran Singasari (RM.
Sunaka). Ketiga, Pangeran Hangabehi (RM. Sandeya) yang setelah Perjanjian
Giyanti kemudian memilih jadi seorang Penghulu Pathok Negara pertama yang
berada di Desa Mlangi. Keempat R.M. Said (Pangeran Sambernyawa), kemenakan
sekaligus menantu Pangeran Mangkubumi yang di tengah perjuangan itu kemudian
memisahkan diri dari Pangeran Mangkubumi dan memilih berjuang sendiri.
Dalam melakukan perlawanan medan tempur mereka bagi sebagai siasat dan strategi perang. Pangeran Hadiwijaya memilih melakukan pertemuran di daerah Kedu bagian dari Negara Agung. Pada tahun 1753 RM Said ( P.Sambernyawa) menemui pamannya Pangeran Hadiwijaya di desa Tegal Bayem ( letak desa ini belum diketahui ). Setelah pertemuan itu , Pangeran Hadiwijaya melanjutkan perlawanan di daerah Magelang sekarang ini. Mas Ajeng Gondosari adalah salah satu istrinya yang setia mengikuti dalam perlawanan. Mas Ajeng ini yang selalu memberikan motivasi, dorongan dan dukungan untuk melakukan perlawanan. Dalam melakukan perlawanan medan tempur mereka bagi sebagai siasat dan strategi perang. Pangeran Hadiwijaya memilih melakukan pertemuran di daerah Kedu bagian dari Negara Agung. Pada tahun 1753 RM Said ( P.Sambernyawa) menemui pamannya Pangeran Hadiwijaya di desa Tegal Bayem ( letak desa ini belum diketahui ). Setelah pertemuan itu , Pangeran Hadiwijaya melanjutkan perlawanan di daerah Magelang sekarang ini. Mas Ajeng Gondosari adalah salah satu istrinya yang setia mengikuti dalam perlawanan. Mas Ajeng ini yang selalu memberikan motivasi, dorongan dan dukungan untuk melakukan perlawanan. Dalam melakukan perlawanan medan tempur mereka bagi sebagai siasat dan strategi perang. Pangeran Hadiwijaya memilih melakukan pertemuran di daerah Kedu bagian dari Negara Agung. Pada tahun 1753 RM Said ( P.Sambernyawa) menemui pamannya Pangeran Hadiwijaya di desa Tegal Bayem ( letak desa ini belum diketahui ). Setelah pertemuan itu , Pangeran Hadiwijaya melanjutkan perlawanan di daerah Magelang sekarang ini. Mas Ayu Gondosari adalah salah satu istrinya yang setia mengikuti dalam perlawanan. Mas Ayu Gondosari ini yang selalu memberikan motivasi, dorongan dan dukungan untuk melakukan perlawanan.
Namun 1753 ketika Pangeran Hadiwijaya sedang
mandi di Kali Butek Kali Abu , disergap
oleh pasukan VOC pimpinan Letnan Gulman. Ketika sedang melompat ke atas kuda
untuk mengambil senjata, beliau tertembak. Kepala nya kemudian dipenggal didepan isterinya. Oleh Letnan Gulman
kepalanya dibawa ke erwakilan VOC di
Semarang untuk dimintakan hadiah. Sedangakan oleh isteinya Mas Ayu Gondosari bersama pengikutnya jenasahnya dimakamkan di
Kali Abu Salaman Magelang.
Kelak
setelah Perjanjian Giyanti 13 Januari
1755 Pangeran Mangkubumi menjadi raja di Kasultanan Yogyakarta . Setelah
Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, RM Said menjadi Adipati dengan gelar KGPAA Mangkunegara I di wilayah
Mangkunegaran Solo. Baik P.Mangkubumi ( HB I) dan RM Said / Pangeran
Sambernyawa ( MN I ) telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh negara.
Kelak salah satu cicit ( buyut ) Pangeran Hadiwijaya ini yang bertahta sebagai
Mangkunegara IV . Secara genealogis sejak Mangkunegara IV sampai sekarang
Mangkunegara IX adalah keturunan dari
GPH Hadiwijaya.
Takdir memang menentukan lain, ketika perjuangan keponakannya yaitu, RM Said membuahkan hasil menjadi Adipate ( raja kecil otonom di Mangkunegaran ), dan adiknya yaitu Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan di Kasultanan Yogyakarta. Namun, Pangeran Hadiwijaya kelak cicit nya lah yang menerima anugerah untuk menduduki tahta di Mangkunegaran sampai ke turunanannya.Akhir dari perjuangan selama hampir 20 tahun, justru memberikan nasib yang tragis bagi Pangeran Hadiwijaya. Pengorbanan begitu tinggi, tewas dalam pertempuran di Kali Butek Kali Abu dalam kondisi tidak siap dan seimbang. Kepala nya dipacung dan kemudian dibawa ke Semarang untuk dimintakan hadiah kepada Pembesar VOC di sana. Setelah Belanda pergi dan negara yang merdeka harapan telah terwujud , jasa dan jasadnya telah dilupakan. Kalau Pangeran Mangkubumi dan RM Said mengakhiri perlawanan mendapatkan kedudukan sebagai seorang raja dan adipati. Perjuangannya pun diakui oleh negara Republik Indonesia dengan dianugerahi gelar pahlawan nasional. Tetapi Pangeran Hadiwijaya terlupakan, mungkin hanya keluarga Mangkunegaran saja yang masih rutin berziarah setiap tahunnya. Masyarakat luas bahkan pemerintah daerahpun seolah tidak peduli dengan keberadaannya. Nasib tragis seorang pejuang dalam akhir hidupnya maupun setelah kematiannya.