Jumat, 16 September 2016

Menengok tanah nenek moyangku

MENENGOK KOTA LELUHUR

Bulan September 2016, setelah perhatian banyak terkonsentrasi ke diklat Kurtilas di SMK 20 Jakarta dan akreditasi sekolah  2- 6 September 2016. Dengan ijin kepada kepala sekolah, aku berkesempatan untuk ijin karena ada keperluan keluarga. Adik iparku menikah dengan gadis Wonogiri, ini merupakan kesempatan bagiku untuk membawa anak anakku menginjak tanah leluhurnya.  Perjalanan dimulai dari hari Kamis 8 Spetember 2016, isteriku sengaja mengambil ijin kerja setengha hari, selepas siang hari sudah pulang. Untuk mempersiapkan perjalanan pulang. Dengan anak anak yang masih kecil kecil tentunya persiapan yang kubutuhkan cukup banyak, selain bekal, pakaian dan segala keperluan anak anak juga bawaan harus aku bawa. Kegatan akreditasi dan persiapannnya, memang cukup meletihkan sehingga aku tidak begitu konsentrasi untuk mempersiapkan barang bawaan.
Grabcar adalah pilihan yang murah dan cepat untuk menuju Stasiun Senen di Jakarta kota, dibandingkan dengan taksi tentunya ini ongkos yang sungguh sangat murah bagiku yang semuanya serba pas. sesampai di Stasiun Senen, Suryo iparku sudah menunggu disana, pulang bersama pengantinya. Dengan bersama Suryo maka, agak ringan pengawasan untuk anak anak. Lebih lebih ada membantu menjaga dan mengawasi Efra anakku yang besar. sementara aku kosentrasi dengan barang bawaan yang kubawa dengan trolly.
K.A. Menoreh kelas ekonomi A.C. dengan set tempat duduk 2.2 memang sungguh tepat untuk memesan berkeluarga. Anak anakku aku belikan tiket tersendiri, semuanya juga untuk kenyaman mereka. Walaupun untuk sementara aku harus mengalah dengan duduk dibawah.
Sebuah kemewahan bagiku bisa melakukan bersama sama dengan semua keluarga.

Kereta melaju menuju ke stasiun Tawang Semarang .Perjalanan yang sungguh sangat menyenangkan, stasiun demi stasiun dilewati. Efra sangat menikmati perjalanan ini, ia banyak bertanya sepanjang jalan yang dilalui. 

Jumat, 12 Agustus 2016



SALAMAN DALAM BINGKAI SEJARAH  PERTUMBUHAN


( Foto  Markoes N.N. )
Salaman  adalah salah satu dari kecamatan  di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Wilayah Kecamatan Salaman terdiri dari daerah pegunungan dan lembah yang cukup subur, sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Kajoran di , kecamatan Tempuran dan Borobudur di sebelah Timur, berbatasan dengan  proinsi Daaerah Istimewa  Yogyakarta di sebelah Selatan, dan Kabupaten Purworejo di sebelah Barat. Pada bagian ini terbentang jajaran bukit Menoreh, yang tegar menjulang, memiliki Pesona alam yang indah, sekaligus memiliki beragam mitos dan legenda yang sangat melekat di sanubari rakyat.

Puncak yang menjulang tinggi itu, gagah menjulang menjadi  latar belakang setting daerah  Salaman. Sebelah utara terdapat pegunungan Sikapat dan Giyanti yang menyambung dengan kaki Gunung Sumbing.
Daerah ini  terletak sekitar 17 km di sebelah selatan Kota Magelang, Dari Kota Mungkid Ibukota Kabupaten  jaraknya 15 km  dan 48 km dari Yogyakarta. Salaman terletak pada jalur penghubung kota Semarang-Purworejo-Cilacap-Bandung (lewat Jalur Selatan)dan Purwokerto-Kebumen-Borobudur-Muntilan. Gerbang memasuki Kabupaten Magelang dari arah barat selatan. Dahulu Salaman adalah ibukota  Kawedanan Salaman, yang wilayahnya meliputi : Kecamatan Salaman, Kecamatan Borobudur, Kecamatan Tempuran, dan Kecamatan Kajoran. Setelah itu dikenal sebagai daerah pembantu bupati Magelang Wilayah Salaman sampai tahun 1999.
( Foto  Lantip Wratsangka )
Dari lembah dataran yang lebih rendah mengalir sungai sungai yang bermata air di pegunungan dan bukit bukit setempat.  Dengan Kali Tangsi yang berhulu di Kecamatan Kaliangkrik mengalir ke Borobudur bertemu dengan Sungai progo..di Desa Wringinputih. Kali Tangsi ini memiliki anak sungai yaitu Kali Kluban, Kali Caren , Kali Sabrang yang berhulu di pegunungan Menoreh. Kali Mrawu yang berhulu di pegunungan Sikapat. Anak Kali itu memiliki puluhan anak kali yang mengalir di desa desa. Dari Kali Tangsi  pada tahun 1900 dibangun Bendungan Krasak yang mengalirkan saluran Irigasi yang melintasi Lereng pegunungan Menoreh, melintasi Desa Krasak, Sriwedari, Kalisalak, Menoreh sampai ke Borobudur.  Sedangkan Bendungan  Drojogan Sriwedari mengalir saluran Irigasi yang mengalir  melewati Desa Kebonrejo, Sidomulyo sampai kecamatan  Tempuran. Saluran irigasi ini terbagi dari Induk, primer dan tersier. Mengalir ke sawah sawah  penduduk, sehingga bisa menghasilkan padi dengan  rutin setiap tahunnya.


(saluran irigasi sekunder yang mengalir dengan membendung Kali Tangsi )
RT Danoeningrat bupati Magelang ke 2 

Sarana transportasi jalan raya telah terbangun sejak jaman colonial belanda dahulu.  Menurut  prasasti di Tugu Bener Krajan , Bener  Purworejo. Jalan raya yang menghubungkan Salaman Purworejo itu terbangun tahun 1845-1850 saat bupati Purworejo di jabat R.Adiate Tjokronagara I dan Bupati Magelang di jabat oleh Raden Tumenggung Aria Danuningrat III. Sedangkan jalan dari Salaman ke Magelang besar kemungkinan sudah ada jauh sebelum perang Diponegoro, mengingat pada waktu itu Salaman adalah wilayah dari Distrikten Menoreh dalam Regentschappen Magelang. Menurut prasasti Jembatan Kali Tangsi di perbatasan dengan Desa Sidomulyo didapat bahwa jembatan itu dibangun oleh Raden Adipate Aria Danoeningrat regent van Magelang tahun 1870.
( Jembatan Kali Tangsi sebelum dilebarkan tahun 2016 ..salah satu dinidngnya ada prasasti RAA Danoeningrat regent van Magelang 1870)



( Foto  Anas Nur Saiful Aziz)
        Dengan transportasi tersebut, menjadikan Salaman adalah jalur yang cukup ramai selama 24 jam. Sampai pada tahun 1990 an setiap  pagi penulis menjumpai armada truck membawa  industry dari Cilacap, purwokerto ke Semarang. Memasuki millineum baru kepadatan arus lalulintas semakin terasa.  lebih Kecamatan Tempuran ditetapkan sebagai satu kawasan industri untuk Kab Magelang. Angkutan untuk kepentingan industri semakin padat dan rapat. Semakin tahun arus lalu lintas semakin ramai dan padat.
Sejak lama sebenarnya masyarakat sudah merindukan tentang adanya pelebaran jalan. Secara psikologis  itu sudah disiapkan sejak tahun 1972. Maka pada waktu itu, masyarakat yang memiliki rumah di pinggir jalan  ramai ramai membongkar bangunan/mengepras sehingga sesuai dengan aturan dari as jalan 10 meter. Tahun 1972 di Salaman  trotoar yang menghubungkan pasar dan rumah sakit  pembantu. Dan ruas di depan Kawedanan Salaman. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1985 dilanjutkan pembangunan trotoar di Kota Salama


Salaman dalam kenangan masa lalu.


( Foto tahun 1956  ketika Lulusan S M P  Kusuma Salaman    Alm  Bpk Wilarso dan Kawan Kawan..


Kedatangan Inggris  di Pulau jawa sudah diperkirakan oleh  pemerintah  colonial  Belanda. Dengan menugaskan Herman William Daendels sebagai gubernur  jenderal dengan maksud mengantisipasi Pulau Jawa direbut Inggris dari  Belanda. Walaupun pada akhirnya  Inggris akhirnya menguasai juga Pulau Jawa sebagai bagian dari jajahannya. Kedatangan Inggris di Pulau  Jawa mendapatkan pertentangan dari Sultan Hamengkubuwono II, yang akhirnya berakibat hilanganya wilayah Kedu sebagai bagian dari wilayah Negara agung Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.  Setelah merebut wilayah  Kedu  Sir Stamford  Rafles mengangkat Angabehi Danoekromo dari  keturunan Basyaiban  dan Keluarga Patih Danuredjo Yogyakarta sebagai bupati Magelang.            Kabupaten Magelang dibentuk dengan mengangkat Angabehi Danoekromo menjadi bupati dengan gelar Raden Adipate Danuningrat . Sebagai ibukota dipilih Magelang. Wilayah yang membentang diantara Sungai  Progo dan Sungai Elo. Sebuah desa di antara Gelangan dan Mateseh, yang dikenal dengan nama Kebon Dalem. Kabupaten Magelang terbentuk dengan wilayah meliputi 7 dristrik yaitu1.      Probolinggo  2, Ngasiinan 3. Balak ( Candimulyo ) 4. Menoreh  ( Salaman ) 5. Bandongan 6. Remame ( Jumoyo Salam ) dan  7. Magelang.
Alumni SMP Kusuma / Salaman  1953 pertama kali
di Bunderan Salaman  tahun 1956

 Sumber lain mengatakan bahwa sebelum Kabupatern Magelang terbentuk di Kedu sudah ada Kabupaten Menoreh yang wilayah meliputi antara Pegunungan Menoreh , Gunung Sumbing dan Prahu, beribukota di Parakan dengan Bupati terakhir adalah R.Ng Djojonegoro ( Besluit Komisaris Jenderal Hindia Belanda no 11 Tgl 7 April 1826 ) . Kisah kabupaten Menoreh berakhir setelah Perang Diponegoro ibukota dipindah ke Temanggung pada tgl 13 Sept 1834.            Pada tahuun 1816 ketika wilayah Kedu dikembalikan kepada Belanda dengan demikian wilayah Kedu bukan lagi wilayah Vorstenladen  ( kerajaan Yogyakarta ) melainkan wilayah governemen Hindia Belanda.  Setelah tahun 1845 Distrikeen Menoreh di Regenchappen Magelang meliputi  onderdistrikten Menoreh, Sadegan, Borobudur dan Kaliaboe ) .            Menoreh saat ini adalah salah satu Desa dengan wilayah yang luas di Kecamatan Salaman. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Salaman pada masa Hindia Belanda dikenal dengan nama Dsitrik Menoreh. Menurut cerita orang orang tua pada atahun 1980 an..”dahulu dikenal Menoreh daripada Salaman.”Bahkan sampai saat ini kalau ketemu dengan orang dari daerah Muntilan dan Salam  ketika ditanya aslinya darimana, kemudian saya menjawab  Salaman, mereka akan menegaskan Salaman Menoreh). Sampai saat ini di dusun Kamal, Juru Sawah, Alun Alun , Beteng Desa Menoreh menunjukan bekas bekas sebagai sebuah kota kuno pada masa lalu. Hal ini terlihat dari struktur jalan raya yang membelah desa. Rumah rumah penduduk masih terdapat dengan struktur bangunan kuno dan berusia lebih dari seratus tahun.          

  Tidak diketahui secara pasti Dsitrik Menoreh berganti nama menjadi Distrik Salaman, besar kemungkinan setelah desa Salaman dibangun berbagai infrastruktur oleh Belanda sebagai penunjang sebuah Kota distrik yaitu Gedung dan Pendopo Kawedanan Salaman  ( dirobohkan tahun 2003 ) Pasar, Sekolahan  ( Veervolkschool Sekarang SD Salaman 1), Gudang Garam, sebelah barat Pegadaian, Gedung Pegadaian, Masjid Besar Kauman, Gedung Telefon,Telegram dan bangunan lama polsek Salaman.  Karena di Salaman juga terdapat pertigaan tiga ruas jalan yang menghubungkan Salaman Purworejo, Borobudur dan Magelang.            Di Menoreh pulalah dahulu Belanda membangun beteng bagian dari strategis Beteng Stelsel dalam menghadapi Perang Diponegoro. Bahkan berakhirnya perang Diponegoro yang legendaris itu dimulai dari Perundingan Menoreh sebelum ditipu olehBelanda di Karesidenan Magelang

SD Beteng Menoreh didirikan di bekas beteng Belanda
Kantor Pengairan di Jln Diponegoro/ Sudirman Juru Sawah
Menoreh Salaman. Masyarakat menyebutnya Nggedong
karena merupakan bangunan gedong 
Pegadaian Salaman di Jln P Diponegoro Salaman kampung
sekitarnya di sebut dengan  Kampung Gadean.
Rumah Dinas Beherder yang dialihfungsikan 



















Selasa, 02 Agustus 2016

Puncak Puncak Menoreh Tegar Perkasa Menjulang


Puncak Puncak Menoreh Tegar Perkasa Menjulang.



Ketika aku masih tinggal disana......di kampung halaman....Kauman Salaman Magelang....gunung itu...ya...walau lebih tepat di sebut pegunungan. Pegunung Menoreh....Aku telah akrab memandangnya sejak masih kecil, bocah......sekilas tampak biasa saja. Mungkin karena setiap hari tidak pernah lepas dari pandangan mata. Tidak ada yang istimewa....cuma sepintas aku lihat dari Buku Cerita Silat milik bapakku yaitu Api Di Bukit Menoreh..yang tipak bulan pasti tidak dilewatkan. Namun kini, setelah cukup lama tinggal di Jakarta. Berpacu dalam berbagai kesibukan pekerjaanku....puncak puncak itu menjadi tampak istimewa.Nampak penuh keindahan, keagungan dan menyiman banyak pesona yang terpancar. Ada torehan kenangan, saksi akan berbagai peristiwa. Dan tentukan saksi akan banyak perubahan perubahan yang ada di lembah lembahnya...Puncak puncak itu mengingatkanku akan masa masa lalu yang sangat terkesan dan indah untuk dikenang.

Masa kecilku dulu.....
sering menatap dalam cerahnya siang bersama sama teman sepermainanku....
aneka khayalan,,,lamaunan dan misteri mencoba untuk di urai dengan nalar pikir anak anak.
Sejuta pernyataan sering terlontar di antara kami anak anak kecil itu.....di tahun 1980 an...
Dan apabila dikenang akan menjadi lucu....salah satu dari pertanyaan itu.....Kalau Gunung Banyak Angkrem itu meletus ...derr,,,,,tentu magma meleleh....mengenai rumah rumah dibawah itu ya... Dan tentunya tidak pernah berpikir akan Gunung Banyak Angkrem ( salah satu puncak di Menoreh Salaman ) itu bukan termasuk gunung vulkanik aktif
Alam pikiranku yang masih bocah kecil dulu,menduga kalau gunung gunung itu, terbuat dari tumpukan pasir, seperti tumpukan pasir merapi yang sering kulihat...karena berwarna kebiruaan
Ketika menginjak SD kelas 4-6 , bapak sering mengajakku bersama dengan adikku dan sepupu dari Semarang yang berlibur dengan beberapa teman teman sepermainan haiking . Dengan tempat tempat yang dikunjungi seperti pinusan, watu lawang dsbnya. Hanya puncak Banyak Angkrem yang belum pernah ke sana. Ketika melintas ke desa desa itu, tidak jarang melintasi rumah rumah relasi dan kenalan dagang bapak. Mereka dengan senang hati mempersilahkan singgah, dan lengkap dengan jamuan sederhana. Seperti air kelapa muda , buah buah dan sebagainya.
Atau sering kali puncak puncak itu akan menjadi pertanda keadaan cuaca hari itu.
Alm Bapak Emanuel Wilarso...orang tuaku....akan selalu melihat puncak puncak itu dipagi hari.Kalau puncak puncak itu berselimut kabut maka siang atau sore hari akan hujan dan sepanjang hari tidak ada panas mentari. Dan memang benar adanya pada saat itu......


Masih banyak cerita cerita yang terkandung didalamnya.....
Entah itu bernuanasa horor,hantu dan sebagainya . Dan tentunya juga cerita cerita tentang perjuangan Pangeran Diponegoro dan pasukannya.....tempat gerilnya ketika Agresi Militer Belanda Ke 2 tahun 1948-1949.  Salaman sempat diduduki oleh Belanda dan kemudian TNI memilih minggir ke perbukitan Menoreh. Mereng mereka bergerilya menelusuri lereng lereng terjang. Melintasi pedesaan  antar daerah.


Perbukitan Menoreh itu menjadi landshap dari Kota Kecilku ..Kota Kecamatan Salaman....dari arah Magelang akan terlihat jelas dan semakin jelas ketika berada di Salaman....menjadi pagar yang indah dan abadi. Perubahan demi perubahan, pergolakan demi pergolakan,peristiwa demi peristiwa yang ada di lembahnya telah disaksikan selama berabad abad.

Rabu, 27 Juli 2016

GURATAN CERITA INDAH

Hari ini Kamis, 28 Juli 2016.
SELINTAS KISAH


Sungguh sangat beruntung bagi saya, Jusup Adji  Nugroho,
lahir pada hari Rabo Pahing, 3 Januari 1973, anak sulung dari pasangan Emanuel Wilarso dan Hartini. kelahiran saya sangat dinantikan banyak kerabatku. Aku lahir di tengah timangan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat. Kauman Salaman Magelang adalah kampung halamanku, Kauman Lor Dalan, Kauman untuk menyebut daerah tempat tinggalku. Sederet rumah itu memang pada awalnya dimiliki dan tempat tinggal keluarga besar bapakku, dimana Simbah, dan adik adiknya dengan sepupu sepupu, kerabatnya tinggal. masuk dalam lingkaran keluarga Kotagede di Salaman.
Bapakku bukan asli orang Salaman, katagori pendatang, Beliau sampai di Salaman ,karena dampak perang kemerdekaan tahun 1947. Bermula dari serangan Belanda di Sukorejo Kendal, tempat kelahiran bapakku, dan di sana leluhurku tinggal . Suatu kawasan keluarga Kotagede di Saudagaran Sukorejo Kendal,. Pendopo dan rumah Simbah Buyut diserang dan kemudian diduduki Belanda. seluruh keluarga ikut mengungsi dengan tujuan Joyoprana Kotagede Jogjakarta. Sebagai tempat dimana Mbah Buyut puteri berasal dan masih memiliki rumah disana. Kedatangan di Salaman Bulan Desember 1949. untuk menghindari sergapan bulan yang telah menyerang Jogjakarta. Sesampai di Salaman tempat yang dituju adalah rumah Mbah Roestiardjo, tempatnya rumah Mbah Mangeondarso, keponakan Mbah Buyut Puteri yang juga besannya. Niatannya menghindari Belanda, tetapi malah ketemu Belanda juga di Salaman. Akhirnya itulah pelabuhan terakhir dari rangkaian pelarian akibat perang,. Kemudian sampai menetap karena usaha dagang yang ditekuni justru memperlihatkan hasil yang menjanjikan.
Sebagai cucu aku sangat merasakan kasih sayang dari Simbahku ....Mbah Puteri Hardjodirjo, yang walau sebenarnya adalah beliau adik kandung dari Mbah Kakung Supadi Pawirowikarto,ayah dari bapakku. namun karena kondisi ekonomi Mbah Wikarto begitu aku menyebut tidak cerah. Maka anak anak Mbah Wikarto mencar kemana mana. Bapakku sejak awal memang telah dilirik oleh Mbah Hardjodirjo untuk dirawat, walau sudah memiliki anak sendiri yaitu  Budhe Moenari Hardjomartono, dan tinggal di Kotagede setelah menikah dengan Pak Slamet Hardjomartono dengan usaha dagang penyamakan kulit.




Prajurit Perang Jawa
Perang Diponegoro  di Jawa pada  tahun 1825-1830 berakhir dengan siasat licik yang diterapkan Residen Kedu di Magelang, Setelah perang reda dan pemimpin pertempuran itu ditangkap, para pengikut dan prajurit Diponegoro berhamburan ke segala arah. Mereka kembali beraktivitas seperti ketika perang belum berkobar. Tidak sedikit dari mereka yang bersembunyi karena kejaran tentara Belanda. Salah satu dari mereka, melarikan diri dan diam dalam keheningan kaki pegunungan Perahu sebelah utara. Aktifitas dagang yang digeluti, seperti para perantau perantau Kotagede lainnya.

            Sukorejo, Kab Kendal…. adalah tempat yang aman untuk bersembunyi bagi Mbah Soelaiman Sentono, konon nama yang dipakai setelah pergi haji pada tahun 1870 an. Jauh setelah perang Diponegoro itu selesai. Sepulang dari ibadah haji, imperium dagang itu tetap dibangun. Menetapkan di kampung yang dikenal dengan nama Saudagaran Sukorejo. .Besar kemungkinan, karena ditempat ia tinggal, banyak perantau Kotagede yang sukses menjadi saudagar maka dikenalah Saudagaran…tempat tinggal para saudagar. Entah mungkin karena kuatnya persaingan dagang di Kotagede sedemikian kuat, kemudian orang-orang yang “ kalah “ berekpansi ke daerah baru untuk mencari peruntungan yang lebih baik. Bagaimanapun akhirnya terbentuk diaspora keluarga asli kotagede di perantauan. Dengan karakter ,adat ,budaya dan tradisi yang masih sama dengan daerah asal. Kemudian bersinergi dengan kebudayaan setempat memberi warna baru bagi kebudayaan jawa setempat.
Kelak pada masa akhir  abad ke 19 Sukorejo, sebagai ibukota Kawedanan Selokaton Kabupaten Kendal. Keberhasilan dan kesuksesan Mbah Sulaiman Sentono di Sukorejo, menarik minat para kerabat dan saudara saudara dari Kotagede lainnya. Mereka akhirnya menetap sampai akhirnya muncul kelompok keluarga Sargede ( nama lain Kotagede ) Yogyakarta. Walaupun jauh berada di perantauan ,namun ikatan emosional dengan leluhur tidak terlepaskan. Budaya, tradisi dan kebiasaan di tempat asal di bawa dan dikembangkan di Sukorejo. Jadilah kampung Saudagaran sebagai diaspora masyarakat Kotagede..di Sukorejo.
            Keuletan dan ketrampilan dalam berdagang layaknya orang-orang Kotagede menjadikan mereka cepat mapan dalam bidang ekonomi. Hidup sejahtera dan berkecukupan. Untuk membentuk solidaritas dan ikatan dengan budaya asal di Kotagedhe, anak-anak merek dijodohkan dengan keluarga dari Kotagede juga,atau anak sesama perantau dari Kotagede. Sehingga jalinan emosional itu tidak luntur          Mbah Soelaiman Sentono, melahirkan Mbah Wirosentono ( nama kecil diketahui…) Tidak banyak diketahui tentang cerita Mbah Wirosentono. Hanya pada masa tuanya sepeninggal Mbah Wirosentono puteri tidak menikah lagi menduda sampai meninggal dunia. Menurut cerita badannya sedikit gemuk dan kepalanya botak, mencintai anak cucunya dengan sepenuh hati. Mbah Wirosentono menurunkan beberapa anak yaitu Mbah Kasno Kartosentono, Mbah Moertosentono, Mbah Hardjosentono, Mbah Sastrosentono. Dari Keempat anaknya rata relatif sukses dalam bidang perdagangan, bahkan pada awal abad ke 20 Mbah Moertosentono sudah memiliki mobil suatu hal yang prestise karena di Kabupaten Kendal  waktu itu yang memiliki mobil bisa dihitung dengan jari.
            Mbah Kartosentono tumbuh menjadi saudagar kaya yang cukup dikenal di Sukorejo pada awal abad ke 20. Memiliki armada dagang yang banyak sekali berkeliling ke pasar-pasar di kawasan Kendal dan Batang. Mbah Kartosentono menikah dengan Mbah Dasinah anak Mbah Kartowiryo dari Joyopranan Kotagede. Nama tua Kartosentono adalah nama yang diadopsi dari 2 keluarga yaitu Kartowiryo dan Wirosentono. Perkawinan itu lahir ke 13 anak anak mereka yaitu  Djoedi Hardjosoekarto, Kamidi Pawirosoehardjo, Soepadi Pawirowikarto, Mahsoemi Hardjodirjo, Toeparmo ( wafat waktu kecil ), Moersidah Djojohartono, Restiyo Resotijardjo,Ikhas ( wafat kecil ), wafat bayi, Soekarno Karnowijoto, wafat kecil, wafat kecil dan Arie Sugito.
Armada dagang bah Kartosentono meluas ke daerah Batang dan Kendal. Kejayaan dan kesuksesan Mbah Buyut Kartosentono berakhir setelah Indonesia Merdeka. Hari Jumat Kliwon , 5 Setember  1947, Belanda menyerang Sukorejo dari udara. Menurut cerita  orang tua -orang tua yang mengalaminya. Serangan itu, memborbardir Kawedanan, gereja, rumah di Kebumen , sekolahan dan termasuk rumah Mbah Buyut Kartosentono di Saudagaran,. Joglo ditembaki dari atas, membuat semua kaget, Kacau balau, lebih lebih karena Belanda mengetahui kalau salah satu dari anak Mbah Buyut Kartosentono menjadi tentara TNI...yaitu Arie Soegito (alm ) yang kelak tinggal juga di Saudagaran Sukorejo.
Mengungsi ke Genting Gunung bersama sama seluruh rakyat Sukorejo, keluarga besar membuat rencana kembali ke Joyoranan Jogjakarta, karena disana ada rumah yang bisa di tinggali untuk mengindari musuh.

Poros Sukorejo Joyopranan Kotagede      
            Joyopranan terletak di sebelah selatan Pasar Kotagede , jaraknya kurang lebih 500 Meter.. Dahulu merupakan daerah kantong milik Kasunanan Surakarta, namun kemudian dimasukan ke dalam wilayah Yogayakarta. Sekarang secara administrasi masuk Kelurahan Singosaren Kec Banguntapan Bantul Yogyakarta. Berada disebelah selatan Kampung Selokraman, tempat lahir orang-orang hebat masa lalu.
Secara genealogi penduduk asli kampung tersebut masih memiliki ikatan darah satu dengan yang lainnya dengan satu leluhur yang sama. Penduduknya beragam profesi seperti layaknya masyarakat Kotagede pada umumnyakaum wiraswasta. Namun tidak demikian dengan R. Kamdi Pawirosoedarmo, seorang guru sekolah Kasultanan, sekaligus sebagai seorang intelektual pada waktu itu. Walaupun seorang  guru yang kemudian diangkat menjadi seorang mantri guru untuk sekolah Kasultanan, tetapi sang isteri R.Ngt Tohirah adalah asli Joyopranan seorang pedagang batik.
R Ngt Tohirah adalah anak dari Mbah Djamradji, dan merupakan anak Mbah Duryaden yang pernah menuaikan ibadah haji. Mbah Duryaden anak dari Mbah Danom dan kalau di runut genealogi ke atas akan sampai ke Panembahan Senopati. Pendiri kerajaan Mataram Islam di Kotagede.
Ketika Muhammdiyah tumbuh dan berkembang di Yogyakarta dan meluas sampai Kotagede, peran R. Kamdi Pawirosudarmo tidak kecil. Lewat langgar Joyopranan ajaran Muhammdiyah dikembangkan untuk meluruskan praktek ibadah yang dinilai salah pada waktu itu.
Joyopranan menempati posisi penting dalam keluarga  Kartosentono, karena  Mbah Kartosentono puteri berasal , yang merupakan anak dari Mbah Kartowiryo, dari Joyopranan. Salah satu anak Mbah Kartowiryo  yaitu Nyai Mangoendrono telah menetap di Kauman Salaman Magelang. Salaman Magelang pun telah menetap keluarga-keluarga Kotagede yang telah sukses merantau dan menetap disana. Mbah Mangoendrono telah memiliki anak Mangoendarso yang bersiterikan orang Kotagede juga yang nanti melahirkan  ( Parsinah bersuamikan Atmosoewarso dari Citran Kotagede , Djakinah yang bersuamikan Roestiyo anak Mbah Kartosentono dari Sukorejo, Basoeki yang juga berisiterikan anak Mangoensoekromo dari Dolahan Kotagede, dan Soewignya yang juga menikah dengan orang Kotagede )  Nyai Soedilah yang bersuamikan Mangoendihardjo dari Kampung Jagalan Kotagede, melahirkan 13 orang anak ( Soelinah Moechdiyati Hardjo.., Radjiman Partodiwarno, Nyai Hardjowidarso, Nyai Dasinah Soehodo Mulyodihardjo,)Nyai Atmowidarso yang bersuamikan juga orang Kotagede dan Atmohardjono .