Hari ini Kamis, 28 Juli 2016.
SELINTAS KISAH
Sungguh sangat beruntung bagi saya, Jusup Adji Nugroho,
lahir pada hari Rabo Pahing, 3 Januari 1973, anak sulung dari pasangan Emanuel Wilarso dan Hartini. kelahiran saya sangat dinantikan banyak kerabatku. Aku lahir di tengah timangan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat. Kauman Salaman Magelang adalah kampung halamanku,
Kauman Lor Dalan, Kauman untuk menyebut daerah tempat tinggalku. Sederet rumah itu memang pada awalnya dimiliki dan tempat tinggal keluarga besar bapakku, dimana Simbah, dan adik adiknya dengan sepupu sepupu, kerabatnya tinggal. masuk dalam lingkaran keluarga Kotagede di Salaman.
Bapakku bukan asli orang Salaman, katagori pendatang, Beliau sampai di Salaman ,karena dampak perang kemerdekaan tahun 1947. Bermula dari serangan Belanda di Sukorejo Kendal, tempat kelahiran bapakku, dan di sana leluhurku tinggal . Suatu kawasan keluarga Kotagede di Saudagaran Sukorejo Kendal,. Pendopo dan rumah Simbah Buyut diserang dan kemudian diduduki Belanda. seluruh keluarga ikut mengungsi dengan tujuan Joyoprana Kotagede Jogjakarta. Sebagai tempat dimana Mbah Buyut puteri berasal dan masih memiliki rumah disana. Kedatangan di Salaman Bulan Desember 1949. untuk menghindari sergapan bulan yang telah menyerang Jogjakarta. Sesampai di Salaman tempat yang dituju adalah rumah Mbah Roestiardjo, tempatnya rumah Mbah Mangeondarso, keponakan Mbah Buyut Puteri yang juga besannya. Niatannya menghindari Belanda, tetapi malah ketemu Belanda juga di Salaman. Akhirnya itulah pelabuhan terakhir dari rangkaian pelarian akibat perang,. Kemudian sampai menetap karena usaha dagang yang ditekuni justru memperlihatkan hasil yang menjanjikan.
Sebagai cucu aku sangat merasakan kasih sayang dari Simbahku ....Mbah Puteri Hardjodirjo, yang walau sebenarnya adalah beliau adik kandung dari Mbah Kakung Supadi Pawirowikarto,ayah dari bapakku. namun karena kondisi ekonomi Mbah Wikarto begitu aku menyebut tidak cerah. Maka anak anak Mbah Wikarto mencar kemana mana. Bapakku sejak awal memang telah dilirik oleh Mbah Hardjodirjo untuk dirawat, walau sudah memiliki anak sendiri yaitu Budhe Moenari Hardjomartono, dan tinggal di Kotagede setelah menikah dengan Pak Slamet Hardjomartono dengan usaha dagang penyamakan kulit.
Prajurit Perang Jawa
Perang
Diponegoro di Jawa pada tahun 1825-1830 berakhir dengan siasat licik
yang diterapkan Residen Kedu di Magelang, Setelah perang reda dan pemimpin
pertempuran itu ditangkap, para pengikut dan prajurit Diponegoro berhamburan ke
segala arah. Mereka kembali beraktivitas seperti ketika perang belum berkobar.
Tidak sedikit dari mereka yang bersembunyi karena kejaran tentara Belanda.
Salah satu dari mereka, melarikan diri dan diam dalam keheningan kaki
pegunungan Perahu sebelah utara. Aktifitas dagang yang digeluti, seperti para
perantau perantau Kotagede lainnya.
Sukorejo, Kab Kendal…. adalah tempat
yang aman untuk bersembunyi bagi Mbah
Soelaiman Sentono, konon nama yang dipakai setelah pergi haji pada tahun
1870 an. Jauh setelah perang Diponegoro itu selesai. Sepulang dari ibadah haji,
imperium dagang itu tetap dibangun. Menetapkan di kampung yang dikenal dengan
nama Saudagaran Sukorejo. .Besar kemungkinan, karena ditempat ia tinggal,
banyak perantau Kotagede yang sukses menjadi saudagar maka dikenalah Saudagaran…tempat tinggal para
saudagar. Entah mungkin karena kuatnya persaingan dagang di Kotagede sedemikian
kuat, kemudian orang-orang yang “ kalah “ berekpansi ke daerah baru untuk
mencari peruntungan yang lebih baik. Bagaimanapun akhirnya terbentuk diaspora
keluarga asli kotagede di perantauan. Dengan karakter ,adat ,budaya dan tradisi
yang masih sama dengan daerah asal. Kemudian bersinergi dengan kebudayaan
setempat memberi warna baru bagi kebudayaan jawa setempat.
Kelak pada masa
akhir abad ke 19 Sukorejo, sebagai
ibukota Kawedanan Selokaton Kabupaten Kendal. Keberhasilan dan kesuksesan Mbah
Sulaiman Sentono di Sukorejo, menarik minat para kerabat dan saudara saudara
dari Kotagede lainnya. Mereka akhirnya menetap sampai akhirnya muncul kelompok
keluarga Sargede ( nama lain Kotagede ) Yogyakarta. Walaupun jauh berada di
perantauan ,namun ikatan emosional dengan leluhur tidak terlepaskan. Budaya,
tradisi dan kebiasaan di tempat asal di bawa dan dikembangkan di Sukorejo.
Jadilah kampung Saudagaran sebagai diaspora
masyarakat Kotagede..di Sukorejo.
Keuletan
dan ketrampilan dalam berdagang layaknya orang-orang Kotagede menjadikan mereka
cepat mapan dalam bidang ekonomi. Hidup sejahtera dan berkecukupan. Untuk
membentuk solidaritas dan ikatan dengan budaya asal di Kotagedhe, anak-anak
merek dijodohkan dengan keluarga dari Kotagede juga,atau anak sesama perantau
dari Kotagede. Sehingga jalinan emosional itu tidak luntur Mbah
Soelaiman Sentono, melahirkan Mbah Wirosentono
( nama kecil diketahui…) Tidak
banyak diketahui tentang cerita Mbah
Wirosentono. Hanya pada masa tuanya sepeninggal Mbah Wirosentono puteri tidak menikah lagi menduda sampai meninggal
dunia. Menurut cerita badannya sedikit gemuk dan kepalanya botak, mencintai
anak cucunya dengan sepenuh hati. Mbah Wirosentono menurunkan beberapa anak
yaitu Mbah Kasno Kartosentono, Mbah
Moertosentono, Mbah Hardjosentono, Mbah Sastrosentono. Dari Keempat anaknya
rata relatif sukses dalam bidang perdagangan, bahkan pada awal abad ke 20 Mbah
Moertosentono sudah memiliki mobil suatu hal yang prestise karena di Kabupaten
Kendal waktu itu yang memiliki mobil
bisa dihitung dengan jari.
Mbah
Kartosentono tumbuh menjadi saudagar kaya yang cukup dikenal di Sukorejo pada
awal abad ke 20. Memiliki armada dagang yang banyak sekali berkeliling ke
pasar-pasar di kawasan Kendal dan Batang. Mbah
Kartosentono menikah dengan Mbah
Dasinah anak Mbah Kartowiryo
dari Joyopranan Kotagede. Nama tua Kartosentono
adalah nama yang diadopsi dari 2 keluarga yaitu Kartowiryo dan Wirosentono.
Perkawinan itu lahir ke 13 anak anak mereka yaitu Djoedi
Hardjosoekarto, Kamidi Pawirosoehardjo, Soepadi Pawirowikarto, Mahsoemi
Hardjodirjo, Toeparmo ( wafat waktu kecil ), Moersidah Djojohartono, Restiyo
Resotijardjo,Ikhas ( wafat kecil ), wafat bayi, Soekarno Karnowijoto, wafat
kecil, wafat kecil dan Arie Sugito.
Armada dagang bah Kartosentono meluas ke daerah Batang dan Kendal. Kejayaan dan kesuksesan Mbah Buyut Kartosentono berakhir setelah Indonesia Merdeka. Hari Jumat Kliwon , 5 Setember 1947, Belanda menyerang Sukorejo dari udara. Menurut cerita orang tua -orang tua yang mengalaminya. Serangan itu, memborbardir Kawedanan, gereja, rumah di Kebumen , sekolahan dan termasuk rumah Mbah Buyut Kartosentono di Saudagaran,. Joglo ditembaki dari atas, membuat semua kaget, Kacau balau, lebih lebih karena Belanda mengetahui kalau salah satu dari anak Mbah Buyut Kartosentono menjadi tentara TNI...yaitu Arie Soegito (alm ) yang kelak tinggal juga di Saudagaran Sukorejo.
Mengungsi ke Genting Gunung bersama sama seluruh rakyat Sukorejo, keluarga besar membuat rencana kembali ke Joyoranan Jogjakarta, karena disana ada rumah yang bisa di tinggali untuk mengindari musuh.
Poros Sukorejo Joyopranan Kotagede
Joyopranan terletak di sebelah selatan
Pasar Kotagede , jaraknya kurang lebih 500 Meter.. Dahulu merupakan daerah
kantong milik Kasunanan Surakarta, namun kemudian dimasukan ke dalam wilayah
Yogayakarta. Sekarang secara administrasi masuk Kelurahan Singosaren Kec
Banguntapan Bantul Yogyakarta. Berada disebelah selatan Kampung Selokraman,
tempat lahir orang-orang hebat masa lalu.
Secara genealogi penduduk
asli kampung tersebut masih memiliki ikatan darah satu dengan yang lainnya
dengan satu leluhur yang sama. Penduduknya beragam profesi seperti layaknya
masyarakat Kotagede pada umumnyakaum wiraswasta. Namun tidak demikian dengan
R. Kamdi Pawirosoedarmo, seorang guru
sekolah Kasultanan, sekaligus sebagai seorang intelektual pada waktu itu.
Walaupun seorang guru yang kemudian
diangkat menjadi seorang mantri guru untuk sekolah Kasultanan, tetapi sang
isteri
R.Ngt Tohirah adalah asli
Joyopranan seorang pedagang batik.
R Ngt Tohirah adalah anak dari Mbah Djamradji, dan merupakan anak Mbah Duryaden yang pernah menuaikan
ibadah haji. Mbah Duryaden anak dari
Mbah Danom dan kalau di runut genealogi ke atas akan sampai ke Panembahan Senopati. Pendiri kerajaan
Mataram Islam di Kotagede.
Ketika Muhammdiyah
tumbuh dan berkembang di Yogyakarta dan meluas sampai Kotagede, peran R. Kamdi Pawirosudarmo tidak kecil.
Lewat langgar Joyopranan ajaran Muhammdiyah dikembangkan untuk meluruskan
praktek ibadah yang dinilai salah pada waktu itu.
Joyopranan menempati posisi penting
dalam keluarga Kartosentono, karena Mbah
Kartosentono puteri berasal , yang merupakan anak dari Mbah Kartowiryo, dari
Joyopranan. Salah satu anak Mbah Kartowiryo
yaitu Nyai Mangoendrono telah
menetap di Kauman Salaman Magelang. Salaman Magelang pun telah menetap
keluarga-keluarga Kotagede yang telah sukses merantau dan menetap disana. Mbah
Mangoendrono telah memiliki anak Mangoendarso yang bersiterikan orang Kotagede
juga yang nanti melahirkan ( Parsinah
bersuamikan Atmosoewarso dari Citran Kotagede , Djakinah yang bersuamikan
Roestiyo anak Mbah Kartosentono dari Sukorejo, Basoeki yang juga berisiterikan
anak Mangoensoekromo dari Dolahan Kotagede, dan Soewignya yang juga menikah dengan
orang Kotagede ) Nyai Soedilah yang
bersuamikan Mangoendihardjo dari Kampung Jagalan Kotagede, melahirkan 13 orang
anak ( Soelinah Moechdiyati Hardjo.., Radjiman Partodiwarno, Nyai
Hardjowidarso, Nyai Dasinah Soehodo Mulyodihardjo,)Nyai Atmowidarso yang
bersuamikan juga orang Kotagede dan Atmohardjono .