Selasa, 22 Mei 2018






                            "SOWAN ROMO
Penulis bersama Pak Khamdi. Sama sama guru


GURU DIDIK KHAMDI"





Dalam anganku sudah kurancang jauh, untuk “sowan” silaturahmi kepada Pak Khamdi. Beberapa informasi lewat media social dan Hariyanto sang anak , mengabarkan kalau beliau dalam kondisi sehat,bugar dan masih segar semuanya.Puji Tuhan...ungkapan syukur yang selalu keucapkan. Ya.. Beliau memang begitu sangat istimewa bagi saya, beliau adalah sosok guru yang sangat saya kagumi dalam beberapa hal, terutama kesederhanaan dan kesahajaan hidupnya. Sempat ada rasa khawatir juga untuk tidak bisa mengunjungi beliau, karena posisi saya berada di Jakarta, tempat tinggal dan sebagai seorang guru juga. Mengingat usia beliau yang sudah sedemikian lanjut, apalagi kalau mengingat teman teman beliau sudah banyak yang “game over”. Termasuk almarhum bapak saya, sebagai salah satu dari kawan karibnya semenjak SMP dahulu.
Aries Totok bersama Pak Khamdi
Masa muda  1956. Pak Warno, Pak Ramli, Pak Wilarso
Pak Khamdi dan Pak Suharno
Kesempatan itulah yang akhirnya diberikan oleh Tuhan Allah kepadaku untuk pulang kampung, tujuan utama saya adalah untuk membenahi makam kedua orang tuaku yang belum sempat kurapikan. Tanggal 9 Mei 2018, naik Bis Ramayana dari Agen Tiket Palsi Gunung Cimanggis Depok. Sehari setelah gegeran Mako Brimob dengpanp teroris, yang menyebabkan saya harus memutar jalan ketika beli tiket.Hari Sabtu tanggal 11 Mei 2018, setelah urusan dengan tukang dan belanja kebutuhan tukang untuk makam selesai. Beberapa teman lama datang di rumah adikku, mereka adalah Aries Totok  yang baru pulang kerja dan  Hariyanto teman SMP ku yang baru lepas pulang dinas dari AKMIL. Pagi harinya sambil belanja material, saya sempatkan mampir ke Mbak Tinuk, pedagang makanan kecil yang sejak saya kecil dulu, beberapa makanan kecil masa lalu masih tersaji. Adikku menunjukan beberapa hal, kuwi De Gethuk cotot...iki sego megana dsb...Sambil ditemani dengan teh nasgitel dan makanan makanan kecil tadi .Tak beberapa lama kemudian bergabung Nurifai dari Kauman. Setelah ngobrol kesana kemari, dahulu Hariyanto pernah dinas di ZIKON 13 Jakarta, kebetulan berada dibelakang rumahku di Jakarta. Walaupun tidak sering, namun selama di Jakarta kami sering ketemu bersama. “ Bapak sehat to Har ?” Tanyaku kepadanya. “ Sehat Mas…”.Pertemuan di rumah Totok adiku diakhir dengan kesepakatan untuk berlanjut untuk sowan Pak Khamdi siang itu juga. Sebelum sowan Pak Khamdi kami mengajak makan bersama di  warung makan Mangut Welut Pancar Ngampeldento Salaman. “Aku nggo klambi ko ngene iki “Kata Hariyanto sambil menghidupkan motornya dan menunjukan baju dorengnya. Logikanya itu melewati dusun Kateki tempat tinggal Hariyanto dan Pak Khamdi. Perjalanan indah dan menyenangkan, Gunung Sumbing dan Pegunungan Potorono, Sikapat tampak indah. Begitu sangat indah,hamparan sawah yang hijau dengan angina segar yang sepoi sepoi. Bagiku itu adalah sesuatu yang mahal dan indah, karena kesehariannku ada di Jakarta yang penuh macet dan sesak. Anganku kembali mengingat, OO….disinilah teman temanku SMP dahulu, waktu itu jalan masih macadam, teman teman masih mengunakan sepeda untuk pergi sekolah. Jembatan Kali Tangsi masih bambu, menurut cerita dibangun permanen beberapa kali tetaplah runtuh keterjang banjir. Mangut welut Pancar…tercapai juga anganku setelah mengetahui lewat internet dan medsos. Cukup mengenyangkan dan enak menurut saya, sepaket terdiri dari nasi “kemebul” hasil dangdangan , sepiring urap, secobek sambel ijo, 2 piring wader goreng.Masing masing sepiring mangut welut.“ Unjukane teko teh benter sedaya nggih “ demikian sapaan khas Magelangan utamanya Salamanan.. ( Minuman dibuat teh panas semua aja ya ).Rencananya saya mau menraktir mereka semua, tetapi keduluan Hariyanto. Selepas makan siang, kami berempat menuju rumah Pak Khamdi di Kateki, sekaligus bagi Hariyanto adalah perjalanan pulang. Tidak banyak yang berubah ujud fisiknya daerah itu, jalanan lebih mulus dan ramai lalulintas. Bangunan rumah tidak bertambah signifikan, kebanyakan rumah sudah banyak yang permanen. Dengan ragam dan model gaya kota.Desa Ngampeldento lebih dikenal Pancar,Tanjunganom, Purwosari, Jebengsari, Kebonrejo itulah desa desa yang saya lintasi.Sepanjang jalan memoriku masih mengingat akan masa lalu daerah itu, jalan jalan yang baru maupun yang lama.Hanya sedikit agak panas, ketpelusuri pedesaan itu, hampir merata. Pohon pohon tinggi yang rindang, sudah banyak ditebangi demi keamaan pemukiman. Pohon pohon rambutan yang dulu begitu berjaya, seolah hilang. Beberapa sumber mengatakan sudah tidak ekonomis dan menguntungkan. Mungking juga ketika , hujan abu letusan Merapi tahun 2010 yang lalu banyak merobohkan pohon rambutan. Begitu kami sampai di depan rumah beliau, saya masih hafal bentuk rumah permanen  dan untuk beberapa kali sering berkunjung kesana. Baik sendiri sendiri maupun dengan almarhum bapak saya. Ada beberapa perubahan penting, terakhir saya sowan tahun 2000 awal saya ke Jakarta, dan menyampaikan ketemu dengan Hariyanto di Jakarta, rumah itu masih direnovasi bagian atap. Saya melihat bagian rumah sudah diplester dan berlantai keramik.Hariyanto yang masuk terlebih dahulu, beliau membukakan pintu. Sosok yang tidak asing bagi saya, begitu melihat Pak Khamdi sehat dan segar. Seraya saya bersyukur kepada Tuhan ALLAH dan hati sayapun merasakah kebahagiaan yang dalam. Sungguh anugerah dari Tuhan Allah bagi saya masih bisa sowan silaturahmi kepada Pak Khamdi. Dari balik pintu, sosok bapak guruku yang selama ini aku kenali, seraya dalam mimpi, postur tubuh yang tinggi, wajah ceria segar dengan rambut sudah memutih semua.“ Kulo nuwun Bapak, dalem sowan nyaosaken sungkem pangabektos” sambil berjabat tangan dengan cium tangan. Erat sekali beliau memegang pundak pundak kamipun di pegang dengan erat. Kamipun dipersilahkan duduk. Meja kursi tamu seperti yang dahulu sewaktu saya sowan dan bermain ke rumah Hariyanto.“ Hlo, ko..bisa barengan, iki pada seko ndi ? “ demikian sapanya.“Nggih Pak sampun semadosan , nika mumpung Adji wangsul “Jawab Aries.“ Prei po Nung….” Demikian beliau memanggil saya sama seperti alm bapak memanggilku dulu.“ Inggih nika, kulo legaaken, nyekar lajeng kempal kanca kanca”Pembicaraanpun mengalir menanyakan kondisi masing masing, anak anak kami satu persatu. Bahasa Jawa yang khas yang sering saya dengar, ketika dulu beliau masih sering main kerumah untuk bercerita bersama dengan almarhum bapak. Anganku, citrakku dan memori membangkitkan kenangan akan almarhum bapak. Seolah olah bapak ikut hadir dalam perbincangan siang itu. Sesekali beliau mempersilahkan untuk menikmati makanan yang tersaji di meja. Beliau memang masih banyak tamu yang datang berkunjung, baik kerabat,relasi, sahabat dan kenalan kenalan. Rekan rekan guru yang lebih mudah dan masih akttif mengajar di SMP Negeri 1 Salaman beberapa masih sering datang berkunjung. Interior rumahnya dipenuhi barang barang antik, baik lampu, kapstok, hiasan dinding. Terlihat juga foto presiden dan wakil presiden yang pernah menjabat di Indonesia. Sambil bercerita tentang masa remajanya yang banyak tinggal di Kauman, ketika bersama sama sekolah di SMP Kusuma ( sekarang SMP Salaman 1953). Sewaktu saya masih kecil, sering mendengar cerita almarhum bapak tentang masa sekolahnya. Rumah Simbah Hardjodiryo,bulik sekaligus orang tua angkat almarhum bapaku tempat favorit bagi teman teman untuk belajar bersama. Mengunakan lampu minyak tanah gantung, duduk bersama di meja makan. Semuanya bisa terlaksana karena almarhum Simbah sangat  “ welcome” terhadap teman teman bapak. Tidak ada tempat dan fasilitas untuk tidur, namun juga menyediakan makan makanan yang tentu barang tersebut waktu itu termasuk mahal.               “ Kuwi nek do mangan jan kaya meri kae…..” demikain Pak Khamdi bercerita. Almarhum Simbah pun menyeritakan, “ woo biyen kuwi yen do sinau nang omah mburi kae, maem wis do tak cepaki nang lemari, kari pada nyupuk dewe dewe ““Dadi aku, Much Ramli, Wilarso, Warno karo Harno kuwi kanca sinau, kanca dolan kanca sekolah. Awan bengi dadi siji…( jadi saya, Much Ramli ,Wilarso, Warno, dan Suharno itu teman belajar,bermain dan sekolah). Aku kuwi bocah Karanglo Kebonrejo, ning uripe nang Kauman saben dinane. ( saya itu anak Karanglo Kebonrejo, tetapi hidupnya itu di Kauman Salaman ). Melu orkes gambus, pimpinane Pak Kiai Ambyah Kauman kae, karo Much Ramli….turune nek ora nang nggone Much Ramli yo neng Wilarso lor dalan.

Masih sempat mendengar cerita beliau tentang masa kanak kanaknya, cerita tentang kekejaman masa penjajahan jepang. Cerita yang tidak jauh berbeda dengan cerita dari almarhum bapak, tentang kewajiban setor padi, kewajiban untuk masuk ke lobang tanah untuk antisipasi bahaya udara, kewajiban untuk menanam kapas dan jarak dsb. 
" Ana telung rumus kangone urip kuwi, supaya bisa sehat..atine seneng, awak sehat, awet urip '( Ada tiga hal yang perlu di jaga dalam hidup itu, hati senang, badan sehat dan panjang umur. ) Kemudian menjabarkan tentang, ketiga hal tersebut, dan menunjukan contoh contohnya. Kami semua dengan takzim mendengarkan. Gaya berbicara yang sederhana, diselingi dengan humor dan dialek khas yang selalu saya kenal, membuat betah untuk selalu setia mendengarkan. Seandaikata saya tidak harus pulang malam itu ke Jakarta, mungkin masih butuh 1 hingga 2 jam lagi. Jam dinding kuno didingnya sudah berdentang 2 kali, sebentar jangan dihiraukan bunyi dentang jam itu, biarlah. Kalimat itu ada ungkapan yang tersirat kerinduan untuk bertemu. Namun ketika jarum jam sudah menunjukan pukul 02.30 saya harus nyuwun pamit, untuk sekedar singgah sebentar di rumah Hariyanto yang berada di depannya. Sesuai janji saya dulu, saya mau main ke Kateki Kebonrejo, ning aku sowan bapak dulu baru ke tempat sampean. 
Tetap segar dan mengendarai sepeda
motor sendiri.

Rama Guru Khamdi bersama Hariyanto
anak ketiga yang sekaligus teman penulis
tanpak Vespa P150X yang digunakan sewaktu
berdinas mengajar dahulu di SMPN 1 Salaman