Rabu, 23 Januari 2019


PRASASTI PLUMPUNGAN  SALATIGA
Bersama keluarga tanggal 26 Desember 2018 mengunjungi Prasasti Plumpungan.

                Berakhirnya masa pra aksara atau dahulu disebut dengan prasejarah dengan dikenalnya tulisan. Pemakaian tulisan dalam kehidupan masyarakat salah satunya dikenal melalui prasasti. Prasasti adalah sebuah piagam yang berasal dari bahan tahan lama sepeti batu atau lempengan logam. Prasasti memberikan sumber informasi  penting karena memiliki sumber informasi penting yang berisi kronologi suatu peristiwa. Selain itu juga memuat sejumlah nama dan penanggalandari suatu peristiwa pada masa lalu. Kerajaan Mataram Hindu atau sering disebut dengan istilah Kerajaan Medang Kamulan, adalah salah satu kerajaan yang banyak mengeluarkan prasasti .
                Prasasti Plumpungan adalah salah satu prasasti yang dikeluarkan pada masa kerajaan Mataram Hindu,hal itu apabila menunjuk kepada angka tahun dikeluarkannya. Prasasti yang terdapat di Kelurahan Kauman Kidul, Kec Sidorejo , Kota Salatiga  Jawa Tengah. Letaknya cukup strategis, berada di dekat ruas jalan tol Bawen Salatiga. Jarak dari pusat kota ( bunderan Salatiga ) menuju ke lokasi kurang lebih 2.3 km kea rah timur. Menelusuri jalan Pattimura, arah yang menuju ke Pabelan dan Bringin. Setelah  Toko Batik Selotigo , dan situs Waturumpuk terdapat ruas jalan tol. Sebelum masuk ke terowongan jalan tol belok ke kanan, terdapat papan nama sebagai petunjuk.  
Penetapan Sima
                Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang yang pernah berkuasa di  Jawa Tengah pada abad ke 8- 10 M ini mengenal istilah daerah swatantra atau sima. Daerah Sima adalah daerah perdikan dimana , warga masyarakatnya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak ke kerajaan. Penetapan daerah sima dilaksanakan dengan upacara, manusuk sima . Dengan adanya upacara manusuk sima tersebut, suatu daerah resmi menjadi perdikan, dengan ketentuan bebas dari pembayaran segala macam pajak. Namun memiliki persyaratan untuk menjaga dan melestarikan bangunan suci yang ada di dalamnya.
pada bidang datar tersebut pahatan tulisannya


                Prasasti Plumpungan yang berukuran  panjang 163 cm x lebar 163 cm dan tinggi 90 cm ini,berbahan batu andesit warna merah abu abu. Jenis bantuan yang sering terdapat di daerah dengan tektur lempung / tanah merah. Di dalamnya terdapat tulisan yang  ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya. Mengunakan huruf  Jawa Kuno dan berbahasa Sanskerta. berisi tentang pemberian tanah perdikan.
Dalam  sejarahnya,  Prasasti Plumpungan ini  berisi ketetapan hukum kerajaan , tentang suatu ketetapan status sima,  tanah perdikan atau  swantantra bagi Desa Hampra. Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, penetapan ketentuan status tanah sebagai perdikan, sima, atau swastantra ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan dasar bagi  berdirinya daerah Hampra sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini. Para pakar arkeologi dan epigraf  telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Menurut Berita  Penelitain Arkeologi  No 37 tahun 1986  tulisan Machi Suhadi dan MM Sukarto , bahwa pertama kali di temukan di tahuun 1898. Tidak ada penjelasan siapa yang pertama kali menemukan prasasti terebut. Meningat daerah sekitar Salatiga pada waktu itu, banyak terdapat perkebunan milik Belanda yang membentang dari Bawen, Getasan sampai Bringin.  Pada mulanya berada di pekarangan rumah miliki Djainoe bin Amat Suratin warga Kauman Kidul Salatiga Luar Kota. Setelah pemekaran kota Salatiga daerah itu masuk  Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga.
Isi Prasasti Plumpungan
                Seorang ahli filolog Belanda  Johannes Gijbertus de Casparis telah berhasil membacanya dan menuliskan pada disertasinya pada tahun 1950. Oleh de Casparis berhasil di baca dan disempurkan oleh Dr.RM. Poerbatjaraka sebagai berikut :
1.       /Srir = astu swasti prajabyah sakakalatita 672/4/31/..(..)
2.       Jnaddyaham //O//
3.       //dharmmartham ksetradanam yad = udayajananam yo dadatisabhaktya
4.       hampragramam triaramyamahitam = anumatam siddhadewyasca tasyah
5.       kosamragrawalekhaksarawidhiwidhitam prantasimawidhanam
6.       tasyaitad = bhanunamno bhuwi bhatu yaso jiwitamcatwa nitya
artinya :
1.       Semoga bahagia ! Selamatlah rakyat sekalian ! Tahun Saka telah berjalan 672/4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat
2.       tengah hari
3.       Dari dia, demi agama untuk kebaktian kepada yang Maha Tinggi, telah menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada mereka
4.       yaitu desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan dari Siddhdewi (Sang Dewi yang Sempurna atau Mendiang) berupa daerah bebas pajak atau perdikan
5.       ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung mempelam
6.       dari dia yang bernama Bhanu. (dan mereka) dengan bangunan suci atau candi ini. Selalu menemukan hidup abadi

DR RM. Poerbatjaraka, membantah pendapat J.G.de Casparis yang menyatakan bahwa prasasti itu bersifat agama Buddha.  Menurut Poerbatjaraka prasasti itu bersifat Hindu-Saiva, karena nama Isa yang disebut-sebut dalam prasasti adalah nama lain dari Siva, sedangkan JG de Casparis menyatakan bahwa Isa adalah sebutan untuk Buddha. Sedangkan nama tempat dalam prasasti Plumpungan dibaca oleh JG de Casparis dengan Trigramvya, namun pembacaan itu diluruskan oleh RM  Poerbatjaraka menjadi Trigostya, yang dalam bentuk biasa diucapkan Trigosti yang merupakan sinonim dari Trisala, kata ini sampai sekarang masih tersisa menjadi Salatiga ( lihat Boechari 1964: 122).
Dasar Hari Jadi Kota Salatiga
                Kota Salatiga seluas  58,781 Km dengan berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang ini pada masa Hindia Belanda telah ditetapkan menjadi  Staat Gemente, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 mulai 1 Juli 1917 yang daerahnya terdiri dari 8 desa. Penetapan tersebut bersama sama dengan Kota  Magelang. Pekalongan, Semarang dan Tegal di Jawa Tengah. Dalam memperingati  Hari Jadi nya Kota Salatiga tidak mendasarkan pada penetapan Staat Gemente, karena jauh sebelum penetapan tersebut Salatiga telah tumbuh menjadi satu kesatuan masyarakat. Hal itu terbukti dengan di pilihnya Salatiga untuk melakukan Perjanjian Salatiga antara Sunan Paku Buwono III, VOC  dengan  Pangeran Sambernyawa atau RM Said. Perjanjian Salatiga tersebut yang kemudian menandai Pembagian wilayah  Kasunanan menjadi dua bagian yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran.
Yoni dengan motif sederhana
                Ahli arkeologi dan epigraf senior  Drs. MM Sukarto Kartoatmodjo dalam penelitian Hari Jadi Salatiga merujuk kepada Prasasti Plumpungan tentang di tetapkan daerah Hampra sebagai sima pada tanggal  24 Juli 760 M. Sebagai seorang arkeolog dan epigraf senior yang sudah berpengalaman cukup lama, tentu memiliki alas an yang kuat tentang pemilihan tanggal tersebut. Berdasarkan prasasti ini Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli 750 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.
Rumah Arca

                Setelah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Salatiga sebagai dasar hukum Hari Jadi Salatiga , prasasti yang telah di lindungi dengan UU No 11 tahun 2010 kemudian dijadikan sebagai cagar budaya. Lokasi prasasti yang semula berada di halaman rumah penduduk kemudian dibebaskan , dan didirikan bangunan baru dibagian belakang untuk menyimpan beberapa benda purbakala yang ditemukan disekitar Salatiga.  Pada saat ini di jaga oleh seorang petugas yang rajin membersihkan lingkungan prasasti tersebut. Petugas ini adalah pegawai dari  BPPC Jawa Tengah, posisinya mengantikan dari pakdenya yang telah pensiun, kebetulan masih keturunan dari pemilik lahan yang dibebaskan. Selain sebagi tempat untuk  menyimpan arca , sekaligus sebagai tempat untuk menerima tamu yang berkunjung dengan disediakan buku tamu. 
beberapa koleksi rumah arca

Yoni dengan kemuncak candi
Salah satu koleksi yang diragukan benda purbakala
apabila dilihat dari motif ukiran dan jenis batu andesitnya

Minggu, 20 Januari 2019


CANDI SEGI DELAPAN MENOREH SALAMAN


bagian yoni yang terbalik


bagian potongan yoni yang tampak di permukaan tanah. rawan tergerus lahan pertanian disekitarnya.
Menyebutkan candi Wurung di kabupaten Magelang akan merujuk kepada tiga tempat yaitu  Dusun Kanggan, Ringgin Putih ,Borobudur . Kedua Dusun Plandi Sukodono, Pasuruhan ,Mertoyudan  dan ketiga adalah Dusun Candi , Desa Menoreh Kecamatan Salaman.  Magelang dengan daerah berupa hamparan cekungan  Pegunungan yang subur, sangat mendukung untuk didiami sejak dahulu kala, hal itu yang menyebabkan banyak terdapat peninggalan sejarah . Peninggalan sejarah tersebut menunjukan bahwa, di daerah tersebut  telah terdapat satuan masyarakat dengan kebudayaannya. Candi Borobudur merupakan salah satu bukti keberadaan peradaban masyarakat setempat cukup tinggi.
 Salaman, merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Magelang sisi barat daya.Dengan bentangan Pegunungan Menoreh yang menjadi latar belakangnya di sebelah selatan. Sekaligus menjadi batas alamiah, dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Purworejo. Kaki Pegunungan Menoreh tersebut, terdapat situs candi wurung. Terletak di Dusun Candi, Desa Menoreh Kec Salaman Kabupaten Magelang. Berada di sebelah barat perkampungan , sebelah jalan menuju ke Dusun Ngemplak Desa Menoreh. Situs tersebut berupa gundukan tanah di areal sawah warga desa tersebut
Gapura masuk Dusun Candi Menoreh dari arah timur.
keberadaan situs ada disebelah barat dusun, 100 meter dari gapura

Menoreh pada masa lalu sudah menjadi pusat perhatian masyarakat, karena menjadi pusat pemerintahan distrik saat colonial Belanda. Sudah tentu keberadaannya sangat di kenal oleh berbagai kalangan. Salah satunya adalah  J. Knebel seorang arkeolog Belanda dari Comissie In Nderelandsch Indie Voor auclheidundige Onderzoek op Java en Madoera, cikal bakal Lembaga Arkeologi Indonesia. Pada  tahun 1911 untuk melakukan  penelitian. Besar kemungkinan berdasarkan laporan dari lurah desa yang diteruskan kepada wedana dan residen Kedu saat itu. Saat itu Knebel telah menemukan keberadaan situs candi ini, dengan adanya bentuk fragmen gerobak dengan tujuh ekor kuda, dewa laki laki , dan pilar pilar bentuk gajah. 
Candi bangunan bata                
Baskoro Daru Tjahyono, seorang arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta dalam penelitiannya selama tahun 2001-2002 berhasil menghimpun 40 situs candi yang berada di sekeliling Candi Borobudur dalam radius 15 km. Dari ke 40 situs tersebut terdapat 26 situs dengan bangunan dari batu bata. Termasuk didalamnya adalah situs Candi Wurung Menoreh Salaman. Pada saat penulis masih Sekolah Dasar, telah mengenal situs tersebut melalui salah seorang teman sekolah yang tinggal di dusun tersebut. Pada decade 1980 an, masih berupa gundukan tanah di tengah sawah penduduk, dengan tiga batang pohon kelapa yang menjulang. Akses menuju ke sana belum serapi dan sehalus sekarang, masih jalan kampung tanah padat dengan batuan kerikil.
lokasi situs candi wurung Menoreh berada di gerumbul tengah pesawahan milik penduduk.

                Balai Purbakala mulai serius melakukan penelitian pada tahun 1990 an, berdasarkan laporan dari Pegawai konservasi purbakala yang berasal dari daerah setempat. Balai Purbakala melakukan peninjauan dan menemukan beberapa komponen bangunan candi meliputi yoni, patung siwa, ganesa dan patung yang belum jelas. Komponen tersebut kemudian diamankan di Museum Purbakala Borobudur dengan register ( J.229).                Yoni yang terlihat ada dua buah, satu tinggal menyisakan setengah badan sampai ceret masih utuh. Sedangkan yang satunya dalam kondisi terbalik, terbuat dari batuan andesit warna abu abu. Menurut laporan Purbakala tahun 1997-1998 sebenarnya terdapat, tiga yoni. Namun untuk yang satunya belum tertemukan sampai saat ini. Selain komponen arca, yoni juga ditemukan relief singa pada cerat candi.
               
Berdasarkan pengalian besar besar pada tahun 2001-2002 berhasil ditemukan susunan bangunan berasal dari batu bata dengan bentuk segi delapan ( hexagonal) . Suatu bentuk candi yang langka ditemukan di Jawa Tengah.  Material bangunan adalah batu bata, dengan isian adalah batu bulat utuh. Sebelum dilakukan pengalian telah ditemukan sebaran batu bata yang memiliki ukuran cukup besar yaitu panjang 29- 35 an cm , lebar 20 an cm x 24 cm, dan tebal 10 cm x 11 an cm. Dengan bentuk bata balok, bata penyangga, bata penyiku, bata pengunci, dan bata profil ( pingulan) . Namun sayangnya sebaran batu bata kuto tersebut telah menyebar ke sejumlah kawasan , bahkan beralih fungsi untuk pondasi rumah, titian, pijakan pematang sawah. Hal itu dikarena kurangnya wawasan masyarakat akan arti pentingnya bangunan kuno. 
tampak potongan batu bata yang diguakan
oleh penduduk untuk pijakan pematang sawah

Bahkan Purbakala menemukan jejak jejak pengalian liar berdasarkan struktur tanah galian yang tidak beraturan. Hal tersebut adalah ulah para pemburu barang antik yang dikomersilkan.                Berdasarkan dari keterangan tersebut dapat disimpulkan kalau banguan Candi Wurung di Menoreh Salaman tersebut mengunakan dua material utama. Untuk kontruksi banguan mengunakan bahan batu bata, sedangkan sarana pemujaan yaitu arca sebagai bentuk pantheon dan yoni mengunakan batu andesit beku vulkanik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Candi Wurung ini adalah bersifat Hindu Siwaistis.
Pasangan lingga dan yoni adalah lambang alat kelamin laki - laki dan perempuan. Kamus Bahasa Jawa menjelaskan bahwa “Lingga tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti keterangan, petunjuk; Lingga, lambang kemaluan lelaki (terutama Lingga Siwa dibentuk tugu batu), patung dewa, titik tugu pemujaan, titik pusat, pusat poros, sumbu”. “Yoni rahim, tempat lahir, asal Brahmana, Daitya, dewa, garbha, padma, naga, raksasa, sarwa, sarwa batha, sudra, siwa, widyadhara dan ayonia."


Dengan ditempatkan lingga yoni di suatu tempat menunjukan  bahwa tempat tersebut adalah daerah yang sangat subur. Hal ini dapat dipastikan di mana pasangan lingga yoni ditemukan, maka lingkungannya adalah lingkungan agrasis yang subur. Lingga yoni paling sering ditemukan berada di dekat candi. Lingga berbentuk batu tegak seperti kemaluan laki - laki dengan bentuk bujur sangkar pada bagian paling bawah, segi delapan pada bagian tengah dan bulat di bagian teratas. Pada bagian bujur sangkar inilah kemudian ditanamkan pada yoni. Lingga berasal dari kata sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, bukti dan keterangan. Lingga adalah pengembangan bentuk pemujaan dari  jaman lebih kuno yaitu menhir. 
 Modal Dasar Pengembangan.                
Bagi Desa Menoreh sebetulnya keberadaan situs ini, adalah modal dasar untuk mengembangkan ekonomi desa. Pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat terangkat dengan mengembangkan wisata sejarah, tentunya dengan dukungan Pemerintah melalui Balai Purbakala untuk melakukan pengalian dan rekontruksi kembali. Kegiatan pengalian yang pernah dilakukan justru tidak berlanjut, hasil penelitian kembali dikubur demi alas an keamanan benda purbakala. Apabila hal tersebut dilakukan kembali, dan bersinergi dengan Pemerintah Desa merupakan asset yang besar untuk kesejahteraan masyarakat. Potensi sejarah Menoreh sangat beragam, banyak situs sejarah yang mewakili bentangan jaman. Mulai jaman Mataram Hindu, Islam,dan  Belanda semua tersaji lengkap. Tinggal daya dukung dari berbagai pihak untuk dapat mengelolanya. Selain itu juga menjadi kebanggaan warga masyarakat, yang menimbulkan rasa prestise terhadap daerahnya.