Minggu, 19 Mei 2019


PLENGKUNG PITU MENOREH




Kota Magelang mengenal plengkung untuk menunjukan  jembatan air/ talang yang melintasi beberapa jalan di bawahnya, sedangkan di Yogyakarta menunjukan kepada pintu gerbang yang menuju ke arah keraton Jogjakarta. Selama ini di Magelang hanya di kenal  3 plengkung saja, yaitu Plengkung Badaan, Kodim dan Kemiri kerep. Namung ternyata di Kabupaten Magelang, tepatnya di Desa Menoreh Salaman Magelang, di kenal Plengkung Pitu.
Plengkung adalah untuk menunjukan pintu gerbang  menuju ke halaman keraton dengan yang  menyatu dengan tembok benteng keraton. Bangunan plengkung  sebagai gapura masuk merupakan pengembangan dari gapura  paduraksa yang sudah dikenal dalam arsitektur tradisonal Jawa  Bali. Menurut KBBI Arti pelengkung : pintu gerbang untuk memasuki daerah benteng keraton (kadang-kadang ditambah bangunan melengkung yang menghubungkan kedua sisi pintu).Kontruksi  Plengkung banyak pakai untuk model jembatan pada masa Belanda.Teknologi itu adalah bentuk struktur lengkung — dalam bahasa Inggrisnya disebut arch. Sebuah struktur lengkung mempunyai kemampuan luar biasa dalam mendistribusikan bebani

Jembatan  plengkung adalah struktur setengah lingkaran ( plengkung ) dengan abutmen di kedua sisinya. Desain plengkung (setengah lingkaran) secara alamiah  beban akan dialihkan yang diterima lantai kendaraan jembatan menuju ke abutmen yang menjaga kedua sisi jembatan agar tidak bergerak kesamping.
Dalam menahan beban akibat berat sendiri dan beban lalu lintas di atas nya , setiap bagian pelengkung menerima gaya tekan, alasan itulah yang mengharuskan jembatan pelengkung harus terdiri dari material yang tahan terhadap gaya tekan. Kualitas material bangunan yang benar benar memiliki daya tahan yang cukup kuat dan lama. Karena selain menopang diri sendiri ( badan jembatan ) juga beban yang diteriima oleh pemakainya atau lalu lintasnya.

Namun demikian, model plengkung tidak mengalami gaya tarik yang membuat pelengkung lebih efisien dari jembatan balok, namun kekuatan struktur jembatan plengkung juga masih dibatasi. Sebagai contoh, untuk jembatan yang struktur utamanya di atas lantai kendaraan, semakin besar sudut kelengkungannya (semakin tinggi lengkungannya) maka pengaruhnya gaya tekan juga akan semakin kecil, namun itu berarti bentangnya menjadi lebih kecil, jika diinginkan membuat jembatan pelengkung dengan bentang panjang, maka sudut pelengkung harus dikecilkan  sehingga gaya tekanpun menjadi lebih besar dan diperlukan abutmen yang lebih besar untuk menahan gaya horizontal tersebut. Jadi sama seperti jembatan balok bentang dari jembatan pelengkung juga dibatasi hingga 50 sampai 150 m.
Plengkung pitu merupakan salah satu dari bagian bangunan irigasi Induk Saluran Tangsi yang dibendung di desa Krasak. Lokasi bendungan itu kemudian dijadikan view RM Sekar Pajang Krasak Magelang.  Bangunan yang berfungsi sebagai talang air irigasi sehingga dapat mengalir menuju ke arah timur.  Kontruksi yang digunakan adalah kontruksi jembatan plengkung, karena terdiri dari tujuh lengkungan beton, masyarakat menyebutkan dengan nama Plengkung Pitu. Selain sebagai talang air juga berfungsi sebagai jembatan penghubung antara Dusun Kempul dan Beteng  di Desa Menoreh Kecamatan Salaman.
Menurut Erman Mawardi dalam bukunya "Desain Hidraulik Bangunan Irigasi" dijelaskan bahwa irigasi adalah usaha untuk memperoleh air yang menggunakan bangunan dan saluran buatan untuk keperluan penunjang produksi pertanian. Kata Irigasi berasal dari kata irrigate dalam bahasa Belanda dan irrigation dalam bahasa Inggris.

Menurut Abdullah Angoedi dalam sejarah Irigasi di Indonesia disebutkan bahwa dalam laporan Pemerintahan Belanda Irigasi didefinisikan sebagai berikut :"secara teknis menyalurkan air melalui saluran-saluran pembawa ke tanah pertanian dan setelah air tersebut diambil manfaat sebesar-besarnya menyalurkan ke saluran-saluran pembuangan terus ke sungai".

Mengunjungi Plengkung Pitu di Menoreh Salaman, memiliki daya tarik tersendiri. Ketika melintas di atas nya, kita akan melewati dua aliran air yang berbeda arus. Arus Kali Kluban yang mengalir dari selatan ke Utara, nanti aliran Kali Kluban ini akan bertemu dengan Kali Tangsi di Kedung Lupang Salaman . Sekaligus sebagai batas alami Desa Ngadirejo, Sidomulyo dan Salaman. Aliran irigasi yang melintas di atas jembatan ini mengalir ke timur, menuju ke arah Borobudur. 
Talang air itu ditutup dengan balok balok beton, yang knondwon sehingga ketika dilewati akan sedikit bergerak. Lebar jembatan itu tidak lebih dari 1.5 meter, sehingga hanya bisa dilalui dengan pejalan kaki, sepeda atau motor. 
Panorama alam Pegunungan Menoreh dengan sawah di lembah nya sangat menarik untuk dinikmati baik pada pagi hari atau sore hari. Untuk melintasi nya membutuhkan ektra hati hati baik yang belum terbiasa akan ragu apalagi mengendarai sepeda motor. Karena jembatan tersebut relatif tinggi dan tidak berpagar. Pagar besi yang menyisakn tonggak tonggak tersebut konon, dipotong pada waktu pendudukan Jepang di Indonesia. 





Rabu, 13 Februari 2019


MAKANAN MAKANAN KHAS SALAMAN MAGELANG

Salaman, adalah salah kecamatan di Kabupaten Magelang berada di sebelah barat daya yang berbatasan dengan Kabupaten Kulonprogo,  Purworejo,dan  Wonosobo. Terlatak disebelah barat Candi Borobudur Magelang, bahkan boleh dikatakan sebagai pintu gerbang Obyek Wisata Candi Borobudur dari arah barat. Terletak di Jalur Provinsi yang cukup vital, yang menghubungkan antara Semarang – Magelang –Purworejo Kebumen  Purwokerto. Melalui jalur ini juga akan menghubungkn wisata Dieng di Wonosobo dengan Borobudur melalui Sapuran. Jalur ini adalah jalur lintas tengah yang bersambung dengan jalur lintas selatan di Kota Purworejo. Oleh karena itu cukup vital dan ramai dalam arus perdagangan, jasa dan pariwisata.
 Sebagai salah satu kecamatan yang memilik panorama alam dan kesuburan yang sangat luar biasa memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang. Selain itu juga memiliki makanan makanan khas, pada dasarnya tidak memiliki perbedaan dengan makanan khas di Kabupaten Magelang dan daerah sekitarnya.  Namun memiliki ciri khas tersendiri seperti.
Tugu Kuda Putih di Bunderan Salaman, sebagai monumen
perjuangan dan icon Kota Kecamatan Salaman 


1.    WAJIK  MAKANAN KHAS  SALAMAN
                Wajik adalah makanan yang sangat mudah dijumpai dalam masyarakat jawa, makanan ini sejenis dengan jenang ( dodol ) dan krasikan . Kesamaan dengan jenang dodol dan krasikan adalah dalam proses pembuatannya.  Banyak dijumpai makanan wajik dikalangan masyarakat Jawa pada umunya , namun di berbagai daerah sangat berbeda beda cita rasanya. Salaman memiliki wajik sebagai icon daerahnya, sebagaimana untuk di Muntilan, ada Tape Ketan dan Jenang Nyah Pang.  Makanan ini adalah makanan istimewa dimana , pada jaman dahulu tidak hadir setiap hari, hanya pada saat saat tertentu dimana adalah perhelatan. Selain itu wajik juga bersanding dengan jadah menjadi makanan wajib dalam proses hantaran lamaran seorang pengantin. 
Salah satu wajik khas Salaman dengan merk Wajik Salaman
di olah oleh keturuunan Nyah Iin. Proses masaknya masih
mempertahanka tradisional.

 Ada dua  Toko Wajik yang mudah dikenal yaitu Toko Wajik Week di Jln. Kauman  RT 02 RW 12 Kauman Salaman dan Wajik Salaman di Jln Raya Salaman Magelang, tepatnya di Kampung Gadean.  Kedua toko tersebut tidak terpaut jauh letaknya. Wajik di beberapa kalangan disebut dengan istilah wajik klethik , klethik disini untuk menunjukan ketan yang mengalami keras pada saat proses di masak. Beberapa menyukai jenis wajik klethik, namun di Salaman pada umumnya  wajik kelthik dianggap wajik yang salah dalam proses memasaknya. Wajik yang dikenal adalah wajik yang pulen, gurih dan manis yang seimbang dengan kandungan minyak yang cukup belepotan.
                Pada jaman dahulu, wajik mesti hadir dalam hajatan . Wajik akan dipersandingkan dengan kue kue basah lainnya seperti jadah, jenang, krasikan, tape ketan, lemper dan sebagainya yang diatur dalam piring piring yang disajikan ketika tamu tamu berdatanganya. Kue kue basah ini disajikan bersama dengan the panas, selain itu juga terdapat makanan keringan yang berada di dalam stoples. Dalam pesta hajatan , wajik dipersiapkan dua tiga hari sebelum acara dimulai. Dalam proses pemasakan yang benar dan benar benar tanak, maka wajik akan tanah sampai seminggu. Setelah seminggu wajik bisa dihangatkan dengan cara di kukus dalam dandang.
                Wajik di Salaman sangat dikenal oleh orang orang luar Salaman. Almarhum Ibu saya, Ibu Wilarso apabila mengunjungi  Simbah pada saat Lebaran di Baturetno Wonogiri akan membawa wajik yang telah dipersiapkan terlebih dahulu sehari sebelumnya. Simbah saya Simbah Atmosuprapto  kidul Pasar Baturetno akan menantikan dan membagikan oleh oleh wajik ini kepada kerabatnya dan kenalan. Sedemikian juga kalau, ada kerabat yang sedang hajatan atau mengadakan selamatan pasti wajik dari Salaman ini akan di tunggu oleh seluruh kerabat.
 Ketika saya sudah merantau ke Jakarta, apabila pulang kampung dan akan kembali ke Jakarta , maka akan di buatkan wajik untuk  teman teman dan tetangga di Jakarta. Almarhum  Ibu mempunyai  dua orang tenaga yang handal untuk masak wajik, yaitu Mbok Rohadi dan Kang Djasrodi anaknya. Mereka adalah pekerja pekerja yang terbiasa dipanggil oleh Ibu setiap saat. Mereka adalah orang orang yang telah bekerja sejak jaman Simbah dan saya masih kecil. Mereka bekerja dalam komando dan arahan Ibu dalam proses memasaknya dan persiapannya.
Saya memiliki pengalaman untuk memasak wajik ini, manakala dahulu membantu ibu memasak untuk keperluan sumbangan kepada kerabat yang hajatan, oleh oleh dan sebagainya.  Kepandaian Ibu dalam mengolah wajik ini, di rekomendasikan dari   Embah Hardjodirjo dan Mbah Rustiardjo ,  yaitu Ibu dan bulik dari bapak.  Dalam pergaulan di masyarakat sering bersosialisasi dengan Nyah Nyo ( Ny Ong Hwa Nio, pengembang usaha makanan yang kemudian di beri label Wajik Ny Week oleh penerusnya ) maka sering berdsikusi dalam mengolah wajik, Nyah Nyo tidak pelit dalam berbagi resep dan trik dalam mengolah wajik. Supaya memiliki hasil yang berkualitas baik. Perbincangan itu sering keluar manakala berjumpa dalam arisan, kondangan atau sekedar untuk ber sanjan ( saling berkunjung)
                Tahap pertama yang mengolah wajik adalah pemilihan ketan yang berkualitas bagus. Almarhum Ibu akan memilih ketan yang berasal dari daerah Kajoran Magelang. Daerah di lereng  Gunung Sumbing, sering di sebut dengan Ketan Jawa Kajoran. Untuk kelapa adalah kelapa yang benar benar tua, memiliki bulatan yang besar dan daging yang tebal, aroma air yang  terkadung didalamnya  berasa “nyegrak “ dengan kadar alkohol. Demikian juga akan memilih gula merah yang warnanya tidak terlalu pekat dan atau kuning. Untuk takaran yang dipakai oleh ibu, kandungan gula akan dikurangi , tidak seperti resep yang diberikan oleh Nyah Nio. Karena berdasarkan rekomendasi dan masukan dari sanak kerabat, terlalu nek dan manis. Maka ibu akan mengunakan rumus 1 Kg ketan, 3 butir kelapa, 800 gram gula merah.
                Proses memasak wajik dengan mengunakan  kayu bakar atau arang kayu, hal itu dirasa lebih memiliki panas yang stabil. Dengan mengunakan kayu bakar atau arang , maka  api akan di dapat cukup besar ketika kayu dan arang masih banyak, namun akan menurun panasnya ketika proses memasak sudah tidak membutuhkan panas yang besar. Sehingga kebutuhan api selaras dengan kondisi masakan yang sedang di proses.  Sebelum dimasak beras ketan terlebih dahulu di rendam 1- 2 jam , kemudian di tanah dalam dandang. Selama proses memasak ketan ini, sambil memeras santan kelapa yang di ambil kentalannya, setelah semua selesai diperas dimasukan ke dalam wajan di atas api. Dalam proses memasak santan ini harus terus menerus di aduk aduk,pelan namun pasti. Sudah barang tentu, dalam proses mengaduk ini, akan terkena pancaran panas dan asap dari tungku. Sesekali dipastikan , ketan dalam mengukus di periksa supaya jangan sampai kehabisan air di bawah langseng nya. Hal itu akan menyebabkan ketan beraroma  sangit dan gosong.
                Dalam proses memasak santan , lama kelamaan santan akan menyusut dan menimbulkan minyak yang berada di atasnya. Tahapan ini, memerlukan waktu kurang lebih 1 jam , setelah warna santan akan keruh dan mengandung minyak maka gula merah di masukan dan terus diaduk aduk, sampai menimbulkan “plethikan kemricik “ dari didihan santan dan gula. Vanili dan garam untuk penguat rasa boleh ditambahkan. Ketika didihan santan dan gula ini, sudah berbunyi “ kemricik pletik pletik “ , ketan baru dimasukan sedikit demi sedikit sambil terus diaduk aduk. Pada tahapan ini api sudah mulai mengecil, kayu sudah  menjalar keluar  saatnya untuk di dorong masuk ke dalam untuk mempertahankan panasnya.
Hasil yang bagus adalah ketan tidak mlethis tetapi pulen dan
tanah sehingga liat untuk dinikmati.

                Tenaga untuk  mengaduk yang ektra kuat dank eras ini, ketika ketan sudah mulai masuk ke dalam adonan santan dan gula. Semakin lama akan semakin liat, tidak jarang akan lengket di dayung pengaduk. Posisi pengaduk bisa berdiri atau duduk sambil memegangi  ujung wajan. Lebih baik disediakan handuk kering untuk menglap keringat yang keluar. Perpaduan antara gerakan yang liat dan berat dengan panas api dan uap masakan.  Tanda wajik sudah boleh diangkat adalah mana kala di angkat dengan dayungnya tersebut tidak jatuh kembali ke bawah, dan minyak yang keluar dari ketan tersebut mengumpul di dasar wajik. Pengadukan harus sampai ke tingkat dasar sudah tidak menimbulkan gosong dan kerak. Kerak wajik ini disebut dengan “ Kereng”.
                Setelah masak, tiba saat nya untuk di angkat dan di “ ler”, dengan cara nampan atau tampah yang disiapkan dengan diberi alas daun pisang. Daun pisang ini memberi aroma harum ketika berpadu dengan adonan wajik yang masih panas.  Untuk wajik yang berkualitas bagus, di atas “ler-ler “an yang sudah dingin  akan mengeluarkan minyak. Minyak minyak ini bisa diambil dengan sendok dan digunakan untuk mengoreng makanan apabila cukup.
Tahap " Ler Ler " setelah wajik masak dan menunggu dingin.
Dalam foto tersebut adalah hasil masakan terakhir Ibu Wilarso
di bantu oleh Mbok Rohani sebelum keduanya wafat,

                Memasak wajik memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari persiapan sampai selesai. Dalam kegiatan hajatan, wajik akan dipersipakan terlebih dahulu sebelum kue kue basah lainnya bersamaann dengan tape ketan. Pengalaman saya adalah membutuhkan waktu antara 6- 8 jam mulai dari masak ketan , santan, gulan sampai mengangkatnya, semakin banyak volume bahan waktu semakin lama. Sekali memasak untuk idealnya adalah, 4 kg beras ketan , dengan 12 butir kelapa, membutuhkan waktu 7 jam proses pengolahannnya. Rumit dalam proses memasaknya tersebut sebanding dengan cita rasa yang dihasilkan.



GEBLEK  SALAMAN
Geblek dan dawet Salaman

                Ketika  pengalaman dan  pergaulan saya masih sebatas di lingkungan  kecamatan Salaman atau lebih luas sebatas Kabupaten Magelang saya mengira kalau GEBLEK itu Cuma makanan dari Salaman saja sedangkan didaerah lain tidak ada. Berikut dengan  produk produk turunannya seperti alen alen, pothil, slondok dan sebagainya. Makanan makanan itu yang  tidak ada lekat dan dekat tetai juga dibeberapa kampung dan desa desa di Salaman itu menjadi sentra pembuatannya. Kesemuanya itu adalah makanan yang berbahan dasar singkong  yang kemudian  diolah  sedemikian rupa,melalui proses yang cukup lama. Karena proses yang rumit, lama sedangkan hasilnya tidak sebanding. Beberapa orang mulai mengalihkan usaha tersebut. Artinya tidak diteruskan oleh generasi generasi pembuat  sebelumnya, yaitu orang tua orang tua mereka.
lebih enak disajikan selagi hangat 

                Makanan tersebut sempat menjadi “ gambaran  kelas bawah “ karena harganya yang relative murah dibandingkan dengan jajanan yang lainnya. Saya sebagai produk generasi  1970 an….geblek  menjadi makanan yang dekat dan lekat.  Pada saat masa kecil, saya sering melihat rombongan orang orang berjalan kaki mengendong tumpukan geblek untuk dijual dipasar. Orang yang akan membeli tinggal menghadang dipinggir jalan…tinggal memanggil dengan panggilan Khas…..Yu Gebleke….sontak kemudian akan berhenti berjalan dan melayani pembeli.  Cara mengemasnya sangat unik, ketika kantong plastic belum popular, cukup dengan sayatan bambu.
                Sering perkembangan waktu , geblek hadir dikala sore hari ditempat orang orang berjualan gorengan secara langsung. Seolah geblek naik tingkat dari makanan kelas ndeso menjadi makanan kelas kota, karena dijual di gerobak gerobak gorengan di kota kota. Bahkan disajikan hangat yang terasa lebih enak, lebih enak lagi kalau mengunakan cucuran bumbu pecel. Sehingga terapadu gurih, renyah  basah ,pedas manisnya bumbu pecel.
                Asumsi saya tentang Geblek itu Cuma ada di Salaman Magelang menjadi gugur. Waktu itu ada Campursari  Gunungkidul  Manthous  dengan judul Geblek Kulonprogo.  Kemudian saya iseng bertanya kepada salah seorang kenalan yang berasal dari Kulonprogo . Ternyata bentuk  dan bahannya sama Geblek Kulonprogo dan Salaman Cuma  yang membedakan adalah bulatan lebih besar di Kulonprogo. Sedangkan porang orang dari Wonogiri mengenalnya Kolong.
                Setelah saya merantau dan menetap di Jakarta, pada awalnya setahun bisa 3  kali setahun untuk pulang kampung atau mudik. Namun seiring perjalanan waktu, kesibukan dinas yang semakin rapat juga maka tidak sesering  ketika masih bujangan. Akhirpnya setelah kedua orang  tua meninggal dunia maka urusan pulang kampung mejadi nomer yang kesekian, lebih lebih setelah lahir dua orang anak. Maka semakin berpikir untuk kesekian untuk urusan mudik.  Kerinduan untuk menikmati  Geblek kadang kala tertahan menunggu sampai bisa pulang mudik.

                Berkembangnya  informasi melalui media social menjadikan tren tersendiri yang memberikan keuntungan bagi pengangkatan potensi lokal.  Kondisi itu juga didorong  berkembangnya kuliner kuliner yang semakin diminati oleh berbagai kalangan. Geblek sebagai makanan lokal yang menjadi kenangan bagi orang orang generasi 1970 an spemakin dikenal. Geblek menjadi icon kuliner lokal untuk daerah Kulonprogo,Purworejo, Magelang dan Wonosobo.  

SEGO MEGONO

Untuk kalangan kuliner makanan ini lebih dikenal dari daerah Pekalongan dan Wonosobo. Namun di Salaman Magelang, nasi megono atau yang sering disebut dengan istilah sego megono adalah salah satu bentuk varian olahan nasi. Bentuknya cukup berbeda dengan nasi gudangan, atau kluban atau urapan, walaupun bentuk dasarnya sama. Sego Megono hadir dalam acara sambatan, atau setralan dalam dalam rangka perbaikan jalan kampung atau saluran air. Beberapa kalangan petani mencirikhaskan untuk jamuan makan bagi orang orang yang bekerja di sawah. Kuliner dengan bahan dasar nasi yang di campur langsung dengan sayuran atau bumbu urap, sepintas seperti nasi lorodan atau sisa sisa pesta. Apabila dilihat dari wujud fisiknya, nasi megono itu tidak menarik namun dari cita rasanya merupakan perpaduan citarasa yang lezat.
            Ketika nasi masih berupa aronan, maka di campurkan dengan sayuran yang telah dicampur dengan bumbu urap . Kemudian disatukan kembali untuk di tanak bersama sama dalam dandang. Proses masaknya nasi dan sayuran tersebut bersamaan, sehingga menimbulkan cita rasa yang sedap. Aroma itu sudah tercium ketika , uap dari dandang memancar keluar melalui celah celah tutup. Untuk isian sayurannya sangat beragam sesuai dengan selera masing, masing. Ini yang berbeda dengan di Pekalongan yang isiannya mengunakan nangka muda dan buah kecombrang. Megono di Salaman, mengunakan kubis ijo, kacang, kecambah, daun kacang ( lembayung ), daun singkong, daun singkong dsb sesuai dengan selera masing masing. Sedangkan untuk bumbunya adalah kelapa parut sedang muda, cabe, terasi, bawang putih, kencur, jeruk purut, garam dan gula. Beberapa orang memasak dengan menumis bumbu terlebih dahulu baru kemudian kelapa parut di masukan , beberapa orang memasak tidak memakai proses menumis terlebih dahulu, dengan alas an memiliki tingkat kesegaran yang berbeda.
            Sepiring nasi megono, akan terlihat nasi berwarna agak keruh tercampur bumbu dan sayur mayur dengan cita rasa yang gurih, pedas sedikit manis. Sangat cocok dimakan untuk menu sarapan atau makan siang. Bersanding lauk dengan tempe glepung ( tempe yang berbalur tepung beras berbumbu bawang putih, ketumbar, garam dan kunyit, sepotong telor rebus dan rempeyek ikan teri. Untuk tempe glepung bisa berganti dengan tempe bacem atau tahu bacem. Nasi megono akan lebih sedap apabila disajikan dengan cara dibungkus daun pisang dengan cara  bungkusan nuk atau tempelan.

Sepintas adalah nasi yang sering hadir untuk acara sambatan dan kerja bhakti karena alas an kepraktisannya, yaitu tanpa menghadirkan lauk yang lainnya pun nasi sudah sangat enak di nikmati. Nasi megono juga dihadirkan sebagai alat dan sajian selamatan dengan jamuan yang paling sederhana. Maka nasi megono ini tergolong dengan nasi kelas rakyat kebanyakan yang paling bawah. 
OSENG OSENG KUBIS TRIWIS
Mungkin hanya ada di Kabupaten Magelang, daerah dengan kekayaan alam dan sayur mayur yang berlimpah ruah. Salah satu hasil sayuran dari  Kabupaten Magelang yang tidak ada di daerah lain adalah “ Kubis Triwis “ . Kubis atau kol, adalah sejenis sayuran yang mudah tumbuh dan berkembang di daerah berhawa dingin. Penghasil sayuran di Kabupaten Magelang berada di daerah daerah yang memiliki hawa dingin, yaitu yang berada di Lereng dan kaki Gunung Sumbing, Merbabu, dan Merapi .
Kubis Triwis

Kubis triwis ini adalah salah satu sayuran yang termasuk harga yang paling murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Kubis triwis ini sangat cocok untuk dioleh menjadi oseng oseng dengan bumbu pedas. Cabe hijau keriting, lebih mantap dengan cabe kriting dan bumbu yang tumbuh di Kabupaten Magelang. Maka akan melahirkan cita rasa yang khas, dan tidak ditemukan di daerah lain.

Bagi sebagai penduduk  Magelang yang merantau , Oseng Oseng Kubis Triwis ini menjadi kenangan dan klangenan. Menu yang wajib di makan apabila pulang kampung, sambil mengenang masa masa jaman kecil ketika masih hidup di perkampungan Kabupaten Magelang. Dalam proses memasaknya, kubis triwsi ini  terlebih dahulu di kulupi dengan air panas, yaitu di halup halup, yaitu di celup celupkan beberapa saat dalam air mendidih. Tujuannya adalah untuk tidak alot ketika di masak oseng yang relatife kering. Setelah proses itu kemudian baru diolah menjadi Oseng Oseng Kubis Triwis. Akan lebih sedap dicampurkan dengan teri dan pete, untuk pete lebih cocok pete yang tumbuh di Kabupaten Magelang. Sedangkan teri , tentunya berasal dari Pantura Jawa.Mengingat wilayah Kabupaten Magelang tidak memiliki wilayah laut.

Pete yang di panen dari Magelang memiliki tingkat kematangan
yang optimal, ditandai dengan bulatan bulatan buah yang
menonjol .



















KUPAT TAHU SALAMAN
                Pada dasarnya tidak jauh berbeda antara kupat tahu Salaman dengan kupat tahu di daerah Magelang pada umumnya. Dalam perbedaan racikan yang membedakan yaitu antara kupat tahu Yogyakarta dan Magelang. Perbedaan itu terletak pada jenis tahu dan tempe yang digunakan kalau di Yogya adalah tahu dan tempe bacem, sedangkan di Magelang mengunakan tahu dan tempe goreng uyah bawang. Selain itu juga mengunakan bakwan  dan krupuk sebagai pelengkap sajiannya. Kupat tahu Magelang akan lebih banyak porsinya daripada porsi Kupat Tahu Yogyakarta. Sedangkan soal rasa kembali kepada selera masing masing.

                Kenangan akan Kupat tahu Salaman, ketika masa kecil sampai tahun 1989 adalah ada seorang penjual Kupat Tahu Keliling, yang selalu menjajakan kupat tahu dengan cara di pikul. Pada decade itu ada 2 orang yaitu Pak Basar dan Pak Pawiro dari Kedungwungu  Kebonrejo, sebuah kampung di sebelah utara Salaman seberang  Kali Tangsi. Jalan menuju ke Kebonrejo masih jalan macadam dan jembatan  Kali Tangsi masih jembatan Bambu.  Pada masa itu mereka berangkat ketika hari menjelang siang, memiliki pangsa pasar tersendiri, Pak Basar banyak menjajakan kupat tahu seputaran daerah Bunderan ke barat, yaitu wilayah Brengkel , Pecinan  dan Kauman. Sedangkan Pak Pawiro menjajakan kupat tahu daerah Gadean Brengkel Wetan sampai ke Soca Nusupan. Pak Pawiro menjajakan sampai malam hari, maka sering dengan mengunakan lampu minyak pada angkringannya. Sedangkan Pak Basar akan bergegas pulang menjelang magrib. Alasan mengapa tidak berjualan sampai malam “ takut di hadang hantu di kuburan Kedungwungu “.
                Sepeninggal Pak Basar kemudian dilanjutkan isterinya dengan berjualan di Bunderan jalan menuju Brengkel , waktu itu jalanan masih berupa macadam. Mengunakan pikulan, dasaran dan alat alat masak yang digunakan oleh Pak Basar, termasuk anglo dan pengorengan yang memiliki ciri khas tersendiri. Pada wajan ada tambahan  kaleng dilingkarkan sebagai penahan  tempe dan tahu yang telah di goreng ditiriskan.  Pak Basar akan menambahkan setetes  minyak jelantak pada ulekan bawang cabai dan garam sebelum di tambah kacang dan kecap. Tahu dan tempe yang digunakan oleh  Pak Basar adalah tahu tempe bacem. Sedangkan kubisnya adalah kubis mentah. Posisi Pak Basar mangkal ada di beberapa titik, setiap ia mangkal maka otomatis orang yang membutuhkan kemudian mendekat untuk mengantri.

                Saat ini sudah banyak warung Kupat tahu di Salaman, selain itu juga terdapat beberapa penjaja makanan yang mendorong dengan gerobak. Jajanan tidak lagi terpusat di kota kecamatan Salaman melainkan sudah menjamur di desa desa  seputaran Salaman. Sekarang Kupat tahu Mbah Basar dilanjutkan oleh generasi berikutnya, tidak mengunakan pikulan melainkan mengunakan gerobak selalu mangkal di samping Toko Mebel. 

Rabu, 23 Januari 2019


PRASASTI PLUMPUNGAN  SALATIGA
Bersama keluarga tanggal 26 Desember 2018 mengunjungi Prasasti Plumpungan.

                Berakhirnya masa pra aksara atau dahulu disebut dengan prasejarah dengan dikenalnya tulisan. Pemakaian tulisan dalam kehidupan masyarakat salah satunya dikenal melalui prasasti. Prasasti adalah sebuah piagam yang berasal dari bahan tahan lama sepeti batu atau lempengan logam. Prasasti memberikan sumber informasi  penting karena memiliki sumber informasi penting yang berisi kronologi suatu peristiwa. Selain itu juga memuat sejumlah nama dan penanggalandari suatu peristiwa pada masa lalu. Kerajaan Mataram Hindu atau sering disebut dengan istilah Kerajaan Medang Kamulan, adalah salah satu kerajaan yang banyak mengeluarkan prasasti .
                Prasasti Plumpungan adalah salah satu prasasti yang dikeluarkan pada masa kerajaan Mataram Hindu,hal itu apabila menunjuk kepada angka tahun dikeluarkannya. Prasasti yang terdapat di Kelurahan Kauman Kidul, Kec Sidorejo , Kota Salatiga  Jawa Tengah. Letaknya cukup strategis, berada di dekat ruas jalan tol Bawen Salatiga. Jarak dari pusat kota ( bunderan Salatiga ) menuju ke lokasi kurang lebih 2.3 km kea rah timur. Menelusuri jalan Pattimura, arah yang menuju ke Pabelan dan Bringin. Setelah  Toko Batik Selotigo , dan situs Waturumpuk terdapat ruas jalan tol. Sebelum masuk ke terowongan jalan tol belok ke kanan, terdapat papan nama sebagai petunjuk.  
Penetapan Sima
                Kerajaan Mataram Hindu atau Kerajaan Medang yang pernah berkuasa di  Jawa Tengah pada abad ke 8- 10 M ini mengenal istilah daerah swatantra atau sima. Daerah Sima adalah daerah perdikan dimana , warga masyarakatnya dibebaskan dari kewajiban membayar pajak ke kerajaan. Penetapan daerah sima dilaksanakan dengan upacara, manusuk sima . Dengan adanya upacara manusuk sima tersebut, suatu daerah resmi menjadi perdikan, dengan ketentuan bebas dari pembayaran segala macam pajak. Namun memiliki persyaratan untuk menjaga dan melestarikan bangunan suci yang ada di dalamnya.
pada bidang datar tersebut pahatan tulisannya


                Prasasti Plumpungan yang berukuran  panjang 163 cm x lebar 163 cm dan tinggi 90 cm ini,berbahan batu andesit warna merah abu abu. Jenis bantuan yang sering terdapat di daerah dengan tektur lempung / tanah merah. Di dalamnya terdapat tulisan yang  ditatah dalam petak persegi empat bergaris ganda yang menjorok ke dalam dan keluar pada setiap sudutnya. Mengunakan huruf  Jawa Kuno dan berbahasa Sanskerta. berisi tentang pemberian tanah perdikan.
Dalam  sejarahnya,  Prasasti Plumpungan ini  berisi ketetapan hukum kerajaan , tentang suatu ketetapan status sima,  tanah perdikan atau  swantantra bagi Desa Hampra. Pada masa Kerajaan Mataram Hindu, penetapan ketentuan status tanah sebagai perdikan, sima, atau swastantra ini merupakan peristiwa yang sangat penting, khususnya bagi masyarakat di daerah Hampra. Penetapan prasasti merupakan dasar bagi  berdirinya daerah Hampra sebagai daerah perdikan atau swantantra. Desa Hampra tempat prasasti itu berada, kini masuk wilayah administrasi Kota Salatiga. Dengan demikian daerah Hampra yang diberi status sebagai daerah perdikan yang bebas pajak pada zaman pembuatan prasasti itu adalah daerah Salatiga sekarang ini. Para pakar arkeologi dan epigraf  telah memastikan bahwa penulisan Prasasti Plumpungan dilakukan oleh seorang citralekha (penulis) disertai para pendeta (resi). Raja Bhanu yang disebut-sebut dalam prasasti tersebut adalah seorang raja besar pada zamannya yang banyak memperhatikan nasib rakyatnya.
Menurut Berita  Penelitain Arkeologi  No 37 tahun 1986  tulisan Machi Suhadi dan MM Sukarto , bahwa pertama kali di temukan di tahuun 1898. Tidak ada penjelasan siapa yang pertama kali menemukan prasasti terebut. Meningat daerah sekitar Salatiga pada waktu itu, banyak terdapat perkebunan milik Belanda yang membentang dari Bawen, Getasan sampai Bringin.  Pada mulanya berada di pekarangan rumah miliki Djainoe bin Amat Suratin warga Kauman Kidul Salatiga Luar Kota. Setelah pemekaran kota Salatiga daerah itu masuk  Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga.
Isi Prasasti Plumpungan
                Seorang ahli filolog Belanda  Johannes Gijbertus de Casparis telah berhasil membacanya dan menuliskan pada disertasinya pada tahun 1950. Oleh de Casparis berhasil di baca dan disempurkan oleh Dr.RM. Poerbatjaraka sebagai berikut :
1.       /Srir = astu swasti prajabyah sakakalatita 672/4/31/..(..)
2.       Jnaddyaham //O//
3.       //dharmmartham ksetradanam yad = udayajananam yo dadatisabhaktya
4.       hampragramam triaramyamahitam = anumatam siddhadewyasca tasyah
5.       kosamragrawalekhaksarawidhiwidhitam prantasimawidhanam
6.       tasyaitad = bhanunamno bhuwi bhatu yaso jiwitamcatwa nitya
artinya :
1.       Semoga bahagia ! Selamatlah rakyat sekalian ! Tahun Saka telah berjalan 672/4/31 (24 Juli 760 M) pada hari Jumat
2.       tengah hari
3.       Dari dia, demi agama untuk kebaktian kepada yang Maha Tinggi, telah menganugerahkan sebidang tanah atau taman, agar memberikan kebahagiaan kepada mereka
4.       yaitu desa Hampra yang terletak di wilayah Trigramyama (Salatiga) dengan persetujuan dari Siddhdewi (Sang Dewi yang Sempurna atau Mendiang) berupa daerah bebas pajak atau perdikan
5.       ditetapkan dengan tulisan aksara atau prasasti yang ditulis menggunakan ujung mempelam
6.       dari dia yang bernama Bhanu. (dan mereka) dengan bangunan suci atau candi ini. Selalu menemukan hidup abadi

DR RM. Poerbatjaraka, membantah pendapat J.G.de Casparis yang menyatakan bahwa prasasti itu bersifat agama Buddha.  Menurut Poerbatjaraka prasasti itu bersifat Hindu-Saiva, karena nama Isa yang disebut-sebut dalam prasasti adalah nama lain dari Siva, sedangkan JG de Casparis menyatakan bahwa Isa adalah sebutan untuk Buddha. Sedangkan nama tempat dalam prasasti Plumpungan dibaca oleh JG de Casparis dengan Trigramvya, namun pembacaan itu diluruskan oleh RM  Poerbatjaraka menjadi Trigostya, yang dalam bentuk biasa diucapkan Trigosti yang merupakan sinonim dari Trisala, kata ini sampai sekarang masih tersisa menjadi Salatiga ( lihat Boechari 1964: 122).
Dasar Hari Jadi Kota Salatiga
                Kota Salatiga seluas  58,781 Km dengan berbatasan sepenuhnya dengan Kabupaten Semarang ini pada masa Hindia Belanda telah ditetapkan menjadi  Staat Gemente, berdasarkan Staatsblad 1917 No. 266 mulai 1 Juli 1917 yang daerahnya terdiri dari 8 desa. Penetapan tersebut bersama sama dengan Kota  Magelang. Pekalongan, Semarang dan Tegal di Jawa Tengah. Dalam memperingati  Hari Jadi nya Kota Salatiga tidak mendasarkan pada penetapan Staat Gemente, karena jauh sebelum penetapan tersebut Salatiga telah tumbuh menjadi satu kesatuan masyarakat. Hal itu terbukti dengan di pilihnya Salatiga untuk melakukan Perjanjian Salatiga antara Sunan Paku Buwono III, VOC  dengan  Pangeran Sambernyawa atau RM Said. Perjanjian Salatiga tersebut yang kemudian menandai Pembagian wilayah  Kasunanan menjadi dua bagian yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran.
Yoni dengan motif sederhana
                Ahli arkeologi dan epigraf senior  Drs. MM Sukarto Kartoatmodjo dalam penelitian Hari Jadi Salatiga merujuk kepada Prasasti Plumpungan tentang di tetapkan daerah Hampra sebagai sima pada tanggal  24 Juli 760 M. Sebagai seorang arkeolog dan epigraf senior yang sudah berpengalaman cukup lama, tentu memiliki alas an yang kuat tentang pemilihan tanggal tersebut. Berdasarkan prasasti ini Hari Jadi Kota Salatiga dibakukan, yakni tanggal 24 Juli 750 yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Tingkat II Kota Salatiga Nomor 15 Tahun 1995 tentang Hari Jadi Kota Salatiga.
Rumah Arca

                Setelah ditetapkan oleh Pemerintah Kota Salatiga sebagai dasar hukum Hari Jadi Salatiga , prasasti yang telah di lindungi dengan UU No 11 tahun 2010 kemudian dijadikan sebagai cagar budaya. Lokasi prasasti yang semula berada di halaman rumah penduduk kemudian dibebaskan , dan didirikan bangunan baru dibagian belakang untuk menyimpan beberapa benda purbakala yang ditemukan disekitar Salatiga.  Pada saat ini di jaga oleh seorang petugas yang rajin membersihkan lingkungan prasasti tersebut. Petugas ini adalah pegawai dari  BPPC Jawa Tengah, posisinya mengantikan dari pakdenya yang telah pensiun, kebetulan masih keturunan dari pemilik lahan yang dibebaskan. Selain sebagi tempat untuk  menyimpan arca , sekaligus sebagai tempat untuk menerima tamu yang berkunjung dengan disediakan buku tamu. 
beberapa koleksi rumah arca

Yoni dengan kemuncak candi
Salah satu koleksi yang diragukan benda purbakala
apabila dilihat dari motif ukiran dan jenis batu andesitnya

Minggu, 20 Januari 2019


CANDI SEGI DELAPAN MENOREH SALAMAN


bagian yoni yang terbalik


bagian potongan yoni yang tampak di permukaan tanah. rawan tergerus lahan pertanian disekitarnya.
Menyebutkan candi Wurung di kabupaten Magelang akan merujuk kepada tiga tempat yaitu  Dusun Kanggan, Ringgin Putih ,Borobudur . Kedua Dusun Plandi Sukodono, Pasuruhan ,Mertoyudan  dan ketiga adalah Dusun Candi , Desa Menoreh Kecamatan Salaman.  Magelang dengan daerah berupa hamparan cekungan  Pegunungan yang subur, sangat mendukung untuk didiami sejak dahulu kala, hal itu yang menyebabkan banyak terdapat peninggalan sejarah . Peninggalan sejarah tersebut menunjukan bahwa, di daerah tersebut  telah terdapat satuan masyarakat dengan kebudayaannya. Candi Borobudur merupakan salah satu bukti keberadaan peradaban masyarakat setempat cukup tinggi.
 Salaman, merupakan salah satu kecamatan yang terdapat di Kabupaten Magelang sisi barat daya.Dengan bentangan Pegunungan Menoreh yang menjadi latar belakangnya di sebelah selatan. Sekaligus menjadi batas alamiah, dengan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Purworejo. Kaki Pegunungan Menoreh tersebut, terdapat situs candi wurung. Terletak di Dusun Candi, Desa Menoreh Kec Salaman Kabupaten Magelang. Berada di sebelah barat perkampungan , sebelah jalan menuju ke Dusun Ngemplak Desa Menoreh. Situs tersebut berupa gundukan tanah di areal sawah warga desa tersebut
Gapura masuk Dusun Candi Menoreh dari arah timur.
keberadaan situs ada disebelah barat dusun, 100 meter dari gapura

Menoreh pada masa lalu sudah menjadi pusat perhatian masyarakat, karena menjadi pusat pemerintahan distrik saat colonial Belanda. Sudah tentu keberadaannya sangat di kenal oleh berbagai kalangan. Salah satunya adalah  J. Knebel seorang arkeolog Belanda dari Comissie In Nderelandsch Indie Voor auclheidundige Onderzoek op Java en Madoera, cikal bakal Lembaga Arkeologi Indonesia. Pada  tahun 1911 untuk melakukan  penelitian. Besar kemungkinan berdasarkan laporan dari lurah desa yang diteruskan kepada wedana dan residen Kedu saat itu. Saat itu Knebel telah menemukan keberadaan situs candi ini, dengan adanya bentuk fragmen gerobak dengan tujuh ekor kuda, dewa laki laki , dan pilar pilar bentuk gajah. 
Candi bangunan bata                
Baskoro Daru Tjahyono, seorang arkeolog dari Balai Arkeologi Yogyakarta dalam penelitiannya selama tahun 2001-2002 berhasil menghimpun 40 situs candi yang berada di sekeliling Candi Borobudur dalam radius 15 km. Dari ke 40 situs tersebut terdapat 26 situs dengan bangunan dari batu bata. Termasuk didalamnya adalah situs Candi Wurung Menoreh Salaman. Pada saat penulis masih Sekolah Dasar, telah mengenal situs tersebut melalui salah seorang teman sekolah yang tinggal di dusun tersebut. Pada decade 1980 an, masih berupa gundukan tanah di tengah sawah penduduk, dengan tiga batang pohon kelapa yang menjulang. Akses menuju ke sana belum serapi dan sehalus sekarang, masih jalan kampung tanah padat dengan batuan kerikil.
lokasi situs candi wurung Menoreh berada di gerumbul tengah pesawahan milik penduduk.

                Balai Purbakala mulai serius melakukan penelitian pada tahun 1990 an, berdasarkan laporan dari Pegawai konservasi purbakala yang berasal dari daerah setempat. Balai Purbakala melakukan peninjauan dan menemukan beberapa komponen bangunan candi meliputi yoni, patung siwa, ganesa dan patung yang belum jelas. Komponen tersebut kemudian diamankan di Museum Purbakala Borobudur dengan register ( J.229).                Yoni yang terlihat ada dua buah, satu tinggal menyisakan setengah badan sampai ceret masih utuh. Sedangkan yang satunya dalam kondisi terbalik, terbuat dari batuan andesit warna abu abu. Menurut laporan Purbakala tahun 1997-1998 sebenarnya terdapat, tiga yoni. Namun untuk yang satunya belum tertemukan sampai saat ini. Selain komponen arca, yoni juga ditemukan relief singa pada cerat candi.
               
Berdasarkan pengalian besar besar pada tahun 2001-2002 berhasil ditemukan susunan bangunan berasal dari batu bata dengan bentuk segi delapan ( hexagonal) . Suatu bentuk candi yang langka ditemukan di Jawa Tengah.  Material bangunan adalah batu bata, dengan isian adalah batu bulat utuh. Sebelum dilakukan pengalian telah ditemukan sebaran batu bata yang memiliki ukuran cukup besar yaitu panjang 29- 35 an cm , lebar 20 an cm x 24 cm, dan tebal 10 cm x 11 an cm. Dengan bentuk bata balok, bata penyangga, bata penyiku, bata pengunci, dan bata profil ( pingulan) . Namun sayangnya sebaran batu bata kuto tersebut telah menyebar ke sejumlah kawasan , bahkan beralih fungsi untuk pondasi rumah, titian, pijakan pematang sawah. Hal itu dikarena kurangnya wawasan masyarakat akan arti pentingnya bangunan kuno. 
tampak potongan batu bata yang diguakan
oleh penduduk untuk pijakan pematang sawah

Bahkan Purbakala menemukan jejak jejak pengalian liar berdasarkan struktur tanah galian yang tidak beraturan. Hal tersebut adalah ulah para pemburu barang antik yang dikomersilkan.                Berdasarkan dari keterangan tersebut dapat disimpulkan kalau banguan Candi Wurung di Menoreh Salaman tersebut mengunakan dua material utama. Untuk kontruksi banguan mengunakan bahan batu bata, sedangkan sarana pemujaan yaitu arca sebagai bentuk pantheon dan yoni mengunakan batu andesit beku vulkanik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Candi Wurung ini adalah bersifat Hindu Siwaistis.
Pasangan lingga dan yoni adalah lambang alat kelamin laki - laki dan perempuan. Kamus Bahasa Jawa menjelaskan bahwa “Lingga tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti keterangan, petunjuk; Lingga, lambang kemaluan lelaki (terutama Lingga Siwa dibentuk tugu batu), patung dewa, titik tugu pemujaan, titik pusat, pusat poros, sumbu”. “Yoni rahim, tempat lahir, asal Brahmana, Daitya, dewa, garbha, padma, naga, raksasa, sarwa, sarwa batha, sudra, siwa, widyadhara dan ayonia."


Dengan ditempatkan lingga yoni di suatu tempat menunjukan  bahwa tempat tersebut adalah daerah yang sangat subur. Hal ini dapat dipastikan di mana pasangan lingga yoni ditemukan, maka lingkungannya adalah lingkungan agrasis yang subur. Lingga yoni paling sering ditemukan berada di dekat candi. Lingga berbentuk batu tegak seperti kemaluan laki - laki dengan bentuk bujur sangkar pada bagian paling bawah, segi delapan pada bagian tengah dan bulat di bagian teratas. Pada bagian bujur sangkar inilah kemudian ditanamkan pada yoni. Lingga berasal dari kata sansekerta yang berarti tanda, ciri, isyarat, bukti dan keterangan. Lingga adalah pengembangan bentuk pemujaan dari  jaman lebih kuno yaitu menhir. 
 Modal Dasar Pengembangan.                
Bagi Desa Menoreh sebetulnya keberadaan situs ini, adalah modal dasar untuk mengembangkan ekonomi desa. Pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat terangkat dengan mengembangkan wisata sejarah, tentunya dengan dukungan Pemerintah melalui Balai Purbakala untuk melakukan pengalian dan rekontruksi kembali. Kegiatan pengalian yang pernah dilakukan justru tidak berlanjut, hasil penelitian kembali dikubur demi alas an keamanan benda purbakala. Apabila hal tersebut dilakukan kembali, dan bersinergi dengan Pemerintah Desa merupakan asset yang besar untuk kesejahteraan masyarakat. Potensi sejarah Menoreh sangat beragam, banyak situs sejarah yang mewakili bentangan jaman. Mulai jaman Mataram Hindu, Islam,dan  Belanda semua tersaji lengkap. Tinggal daya dukung dari berbagai pihak untuk dapat mengelolanya. Selain itu juga menjadi kebanggaan warga masyarakat, yang menimbulkan rasa prestise terhadap daerahnya.